JAKARTA suaramerdeka.jakarta.com - Kemajuan Timnas Indonesia di bawah asuhan Shin Tae Yong cukup membanggakan. Di bawah asuhan pelatih asal Korea Selatan ini Asnawi Mangkualam cs melaju ke babak final tanpa sekali pun mengalami kekalahan.
Banyak yang bertanya mengapa pemain sepakbola Indonesia yang biasanya hanya lincah bertenaga di menit awal, di tangan Shin Tae Yong pemain Timnas kini sanggup bertarung 2x45 menit tanpa kendor?
Tahu kah kamu bahwa fokus coach Shin Tae Yong menangani Timnas Indonesia adalah membenahi fisik pemain agar tak mudah loyo saat beradu fisik - body contact - dengan pemain lawan? Bahkan konon untuk itu pelatih yang pernah menangani Timnas Korea ke Piala Dunia Rusia 2018 itu melarang anak asuhnya makan gorengan.
Cerita itu diungkap blogger Yusran Darmawan yang tulisannya hari ini ramai viral di medsos. Pemuda kelahiran Buton yang mendapat beasiswa kuliah di Universitas Ohio, Amerika Serikat berkat tulisan-tulisannya di Kompasiana ini mengupas informasi yang didapatnya tentang sosok Shin Tae Yong dan bagaimana pelatih dari negeri ginseng ini menggodok Timnas hingga berkinerja seperti sekarang.
Baca Juga: Jangan Kaget Ya.. Kalau Sebentar Lagi Lihat Bu Susi Pudjiastuti Berhaji dan Berjilbab
Berikut tulisan Yusran selengkapnya.
Ketika Shin Tae Yong ditunjuk menjadi pelatih timnas Indonesia, saya tak terlalu peduli. Saya pikir dia tak berbeda dengan pelatih lainnya. Namun seorang kawan yang bekerja di Google meyakinkan saya kalau dia berbeda.
Kawan itu menunjukkan beberapa wawancara dengan Shin Tae Yong. Rupanya, Shin datang bersama asisten pelatih dari Korea.
Saya tertarik dengan Lee Jae Hong, pelatih fisik yang dibawa Shin Tae Young. Dia ikut mendampingi Shin sebagai pelatih fisik Timnas Korsel di Piala Dunia Rusia, tahun 2018.
Lee menjelaskan kelemahan fisik timnas Indonesia. Dia mengamati banyak pertandingan. Timnas hanya sanggup bermain selama satu babak. Di babak kedua, stamina mulai turun. Mental juang sudah hilang. Selain itu, timnas selalu kalah duel. Sekali disenggol, langsung tumbang.
Menurutnya, kecepatan pemain Indonesia dan Korea hampir sama. Yang membedakan adalah kekuatan (power), body balance, & endurance (daya tahan). Indonesia lemah di banyak sisi.
Baca Juga: Wuii Keren! Egy Cetak Brace Perdana di Liga Slovakia
Dia juga melihat mental. Menurutnya, pemain Indonesia terlalu baik dan pasrah. Dalam sepakbola, kebaikan itu tidak berguna. “Anda harus melihat setiap pertandingan seperti perang. Di situ, Anda harus punya semangat menang dan mengalahkan. Harus siap bertarung. Kalau perlu membunuh,” katanya.
Lee melihat secara holistic. Menurutnya, fisik dipengaruhi oleh tiga hal yakni gaya hidup pemain, budaya, serta pola hidup. Dia menyoroti pemain yang suka makan gorengan dan nasi. Menurutnya, budaya makan mempengaruhi fisik pemain. Untuk kuat dan berotot butuh makan protein yang banyak.
Di level klub, pemain tidak mengonsumsi makanan bergizi. Tanpa banyak makan protein dan makanan bergizi, maka kebutuhan energi tidak akan cukup. Otot tidak bisa terbentuk. Padahal, sepakbola adalah olahraga fisik. Pemain harus siap berduel, siap main keras dengan kaki.