JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com - Perusahaan swasta Amerika Serikat dinilai lebih berpeluang masuk dan menanamkan investasi di Indonesia dibanding pemerintah AS. Hal itu karena pemerintahan Joe Biden masih terlalu ragu-ragu dalam segala hal.
"Sehingga saya tidak terlalu membayangkan investasi pemerintah AS akan bisa cepat," kata pakar ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi di Jakarta, Kamis (27/10).
Oleh sebab itu, dia menyarankan pemerintah Indonesia mendorong kerja sama dengan sektor swasta AS. Sehingga pendekatannya harus lebih ke bisnis, ketimbang hanya ke pemerintah AS.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan pandangan analitis mengenai kinerja ekonomi Indonesia, di tengah-tengah tantangan global. Hal itu disampaikannya dalam gala dinner yang diselenggarakan oleh United States-Indonesia Society (USINDO) di Washington DC, beberapa waktu lalu.
“Ketahanan dan kinerja ekonomi Indonesia, ditambah dengan penentuan posisi geopolitik yang seimbang serta kebijakan luar negeri yang cekatan, telah menempatkan Indonesia pada posisi yang kuat. Yakni untuk menghadapi tantangan politik dan ekonomi sebagai imbas dari pandemi, disrupsi rantai pasok dan konflik Rusia-Ukraina,” paparnya.
Pada kesempatan itu, Co-Chair USINDO Robert Blake menekankan Indonesia memiliki indikator ekonomi yang kuat. Antara lain seperti meningkatnya ekspor, tingkat inflasi yang relatif rendah, situasi pasar saham yang terus mengalami penguatan, dengan pertumbuhan FDI kedua tertinggi di ASEAN.
"Perusahaan swasta AS saat ini menanti kabar lebih lanjut dari pemerintah Indonesia. Hal itu untuk dapat melebarkan ekspansi usahanya di Indonesia," ucap Robert Blake.
Kelebihan
Fithra Faisal menambahkan, pemerintah patut merealisasikan pemindahan basis produksi utama dari China ke Indonesia. Indonesia saat ini punya kelebihan input produksi, sebagai dampak dari hilirisasi produksi yang dibutuhkan oleh industri.
"Dimana seharusnya investasi ke depan bisa lebih banyak diterima. Karena negara-negara di Barat, AS, Uni Eropa juga sama seperti China, sedang kelimpungan mencari sumber daya," ujarnya.
Dijelaskan, Indonesia dan ASEAN mendapati keuntungan atas dua faktor selama pandemi dan usai pandemi. Yakni China factor dan relocation factor.
"Ekonomi China memang pulih lebih cepat dibanding negara lain. Namun industri China masih belum optimal, sehingga membutuhkan input produksi dari negara-negara di ASEAN," tandasnya.
Sedangkan relocation factor terjadi pada negara selain China, seperti AS, Uni Eropa dan Jepang. Negara-negara itu cenderung ingin memperlebar portofolio produksi dan investasi.
"Selama ini, negara tersebut tergantung dengan China. Yakni dalam jaringan rantai pasokan global (global supply chain network). Tetapi karena resiko selama pandemi dan geopolitik, membuat hal yang terlalu terkonsentrasi menjadikan mitigasi risiko menjadi lebih sulit dilakukan," tegasnya.
Sehingga mereka sekarang tidak hanya mengejar efisiensi, tapi juga resiliensi. Mereka juga melebarkan portofolio produksi dan investasi justru ke ASEAN. "Dalam konteks ini adalah Indonesia," tegasnya.