JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com - Klaim atau pelabelan “BPA free” terhadap kemasan selain polikarbonat dalam pembuatan kemasannya berpotensi lebih membahayakan publik atau konsumen. Selain itu, klaim tersebut juga terkesan mendiskreditkan produk-produk pangan yang menggunakan kemasan yang mengandung BPA.
Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor (IPB), Nugraha Edhi Suyatma memaparkan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan.
Sebenarnya, sudah jelas-jelas menyebutkan bahwa produk-produk yang secara alami tidak mengandung suatu bahan, tidak boleh mengklaim free dari bahan yang tidak dikandungnya itu.
Dia mencontohkan klaim minyak goreng non kolesterol. "Ini tidak boleh karena minyak goreng itu pada dasarnya kan memang tidak mengandung kolesterol," ujarnya.
Menurutnya, hal serupa juga tidak boleh dilakukan oleh produk kemasan galon sekali pakai yang berbahan PET yang mengklaim kemasannya bebas BPA.
"Kenapa? Ya karena secara alami kemasan PET itu memang tidak menggunakan BPA. Mestinya tidak boleh pakai klaim free BPA. Jika itu diizinkan, berarti kan ada dua hal yang akan bertabrakan di Peraturan BPOM yang akan direvisi itu nantinya," tuturnya.
Sebagai ahli pangan, Nugraha justru melihat air minum dalam kemasan (AMDK) yang menggunakan bahan plastik selain polikarbonat dan melabelinya dengan bebas BPA, itu sangat beresiko dan berpotensi lebih membahayakan publik.
"Kenapa? Karena, kalau semua plastik boleh mencantumkan free BPA, masyarakat kan tidak mengetahui bahwa pada kemasan itu juga ada zat-zat kimia yang lebih beresiko terhadap kesehatan dibandingkan BPA. Seperti PVC, PS, PET dan melamin, itu semuanya kan mengandung senyawa berbahaya juga," tukasnya.
Disebutkan, PET yang sebenarnya sudah populer dengan kandungan EG atau etilen glikol dan DEG atau dietilen glikolnya disinyalir juga bisa menyebabkan gagal ginjal dan ginjal akut. Selain itu, juga ada asetaldehida yang terbentuk saat reaksi proses pembuatan pencetakan film atau kemasan, juga bisa menyebabkan karsinogenik.
Ada juga antimon trioksida yang sifatnya bisa karsinogen. Kemudian Phthalate yang toksik pada sistem reproduksi dan endokrin atau hormonal.
Juga kemasan berbahan plastik Polystyrene yang banyak dipakai untuk styrofoam, bisa menyebabkan karsinogen bagi manusia.
"Jadi, bisa digambarkan betapa pelabelan free BPA dari kemasan yang nggak ada BPA-nya itu lebih membahayakan konsumen. Memang betul plastik-plastik ini nggak ada BPA-nya, tetapi ternyata kan ada senyawa berbahayanya," terangnya.
Zat-zat kimia, lanjut Nugraha, berbahaya yang ada dalam kemasannya itu sebenarnya yang harus diinformasikan dalam labelnya kepada publik. "Bukan malah bangga melabeli kemasannya dengan free BPA," imbuhnya.
Sahid Hadi selaku Peneliti Bisnis dan HAM Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII) mengatakan adanya kesan unsur persaingan usaha terhadap pelabelan free BPA pada kemasan yang tidak mengandung BPA seperti galon sekali pakai yang berbahan PET.
"Pelabelan seperti itu terkesan tidak adil dan sangat menjatuhkan kemasan produk-produk pangan yang mengandung BPA seperti kemasan galon guna ulang," kata Sahid.
Padahal, menurutnya, seharusnya tugas negara yang paling utama adalah untuk memastikan agar usaha air minum dalam kemasan galon itu tidak mengganggu kesehatan. Dia menuturkan AMDK galon itu tidak hanya yang galon sekali pakai tapi juga guna ulang yang semua harus diperlakukan secara adil.
"Jika telah mengetahui bahwa ada banyak macam AMDK galon, negara harus memastikan agar semua jenis kemasan galon itu tidak boleh mengganggu kesehatan. Seluruh AMDK galon itu harus diidentifikasi tingkat keberbahayaannya pada kesehatan publik. Jadi, bukan hanya berfokus pada galon guna ulang saja," ucapnya.***