Sebab lanjut Julian Afferino, trauma yang dirasakan itu begitu hebat dan sulit dihilangkan.
Belum lagi ditambah dengan informasi yang masih saja simpang siur mengenai pandemi ini.
Julian menyadari, untuk Indonesia, informasi bahwa varian Omicron ini merupakan penanda berakhirnya pademi, memang tidak bisa disampaikan secara dramatis.
Masih ada tanggungjawab moral yang harus ditanggung mereka yang terinfeksi Omicron, yang bisa menularkan kepada orang lain dengan kekhawatiran dapat menimbulkan resiko fatal.
Baca Juga: Acer Luncurkan Laptop Acer Aspire Vero National Geographic Edition dan Gerakan Acer #SayangBumi
Begitu juga sangsi sosial yang harus ditanggung bagi pekerja, karena perusahaan tidak akan mengijinkan karyawan yang terinfeksi Omicron untuk datang ke kantor, walau pun Omicron tidak berbahaya dibandingkan dengan varian Delta.
Varian Omicron, lanjut Julian pertamakali ditemukan di Afrika Selatan, yakni dari pengidap HIV yang memang sangat banyak prevalensinya di negara tersebut.
Daya tahan tubuh yang lemah dari penderita HIV ini, menyebabkan SARCov-2 memiliki kondisi yang sangat baik untuk bermutasi.
Saat ini posisi Omicron persis sama dengan influensa di Amerika Serikat, yang menjadi momok beberapa waktu lalu.
Dengan gejala sakit tenggorokan, demam, mata sakit bila digerakan, batuk, pilek dan beberapa merasakan juga ngilu di tubuh.
Baca Juga: ITDC Rampungkan Fasilitas Pendukung Sirkuit Mandalika
Namun, secara umum, tidak seperti varian awal, yang fatality rate nya sangat tinggi, dengan masa isoman selama 14 hari, untuk Omicron isoman cukup 7-10 hari
Kendati begitu, masyarakat tetap diminta untuk menjaga protokol kesehatan agar pandemic ini bisa segera tuntas.
Mengakhiri pembicaraan, Julian Afferino menegaskan, dengan hadirnya varian Omicron, merupakan penanda berakhirnya pandemi, sehingga vaksin booster tidak lagi diperlukan.***