JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com - Peran aktif pemuda dalam Pemilu 2024 mendatang, sangat diharapkan. Hal itu agar pemuda tidak lagi menjadi objek, tetapi subjek dalam politik.
"Sehingga terjadi gelombang perbaikan dan pembaruan terhadap perasaan masyarakat," kata Ketua Bidang Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPN Partai Gelora Rico Marbun, kemarin.
Hal itu disampaikannya dalam Gelora Talk bertajuk Pemilih Muda dan Konstestasi Pemilu 2024, Apa Harapan Mereka? Menurutnya, untuk mencapai perbaikan, salah satu inti utamanya adalah pemuda jangan jadi objek.
"Jadi dia bukan lagi menjadi objek, tetapi adalah subjek pelaku dalam politik. Pemuda saat ini paling dominan dalam menolak isu penundaan Pemilu 2024," ujarnya.
Sebab, pemuda memiliki keberanian. Baik dalam hal pemikiran maupun tindakannya secara langsung.
"Dimana pemuda melihat perlunya pergantian kepemimpinan saat ini. Hal itu agar ada perbaikan kondisi sekarang, sehingga pemilu harus sesuai jadwal," tandasnya.
Potensial
Ketua Bappilu Partai Gelora itu mengungkapkan, jumlah pemilih muda saat ini mencapai 60 persen dari jumlah pemilih secara keseluruhan. Sehingga menjadi pasar yang sangat potensial, untuk diperebutkan suaranya dalam Pemilu 2024.
"Jika melihat demografis, usianya antara 17-40. Jadi artinya dari dua pertiga pemilih, 60 persen itu pemilih muda. Itu pangsa pasar yang sangat besar. Ini yang akan diperebutkan oleh semua partai politik, termasuk Partai Gelora," tegasnya.
Karenanya, pemuda harus menjadi subjek dalam politik. Dan bukan menjadi komoditas politik, karena besarnya jumlah demografi tersebut.
Sementara itu, pakar komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, indeks optimisme masyarakat terhadap kondisi Indonesia saat ini turun drastis. Yakni dari 64 persen menjadi 3,6 persen.
Penurunan tersebut, disumbang dari indeks politik dan hukum dari 28,1 persen menjadi minus 10,2 persen. Generasi muda nampaknya tidak terlalu optimis, bahkan minus," ungkapnya.
Hal itu menjadi pekerjaan rumah untuk mengembalikan optimisme anak muda. Khususnya terhadap kondisi politik dan hukum di Indonesia.
Diskriminatif
Untuk mengembalikan optimisme itu, kata dia, pendekatannya adalah melalui pendekatan hukum. Dimana hukum tidak boleh diskriminatif atau tebang pilih lagi.
"Disamping itu, pemerintah juga harus bersih-bersih terhadap para pejabatnya. Yang saat ini menjadi sorotan publik," ucapnya.