JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com - Pertumbuhan utang pemerintah Indonesia, dinilai sudah tidak masuk akal. Sebab, dengan beban utang yang besar, Indonesia telah terjebak dalam situasi middle low income trap (negara berpendapatan menengah bawah).
"Hal ini mengkonfirmasikan utang tidak mempunyai peranan besar dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara," kata Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center Hardjuno Wiwoho di Jakarta, Selasa (21/3).
Dia mengaku khawatir, Indonesia akan kehilangan beberapa generasi (lost generation) karena kekurangan gizi, kurang pendidikan. Selain itu, penurunan status kesehatan dari berjuta anak Indonesia, sebagai dampak memburuknya situasi ekonomi akibat tumpukan utang pemerintah.
"Mirisnya lagi, utang dipakai untuk hal-hal yang tidak produktif. Ekonomi Indonesia akan sulit berkembang, karena keuangan negara tersandera untuk pembayaran pokok dan bunga utang," ujarnya.
Dia menambahkan, setiap tahun pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5 persen. Sementara, pertumbuhan utang jauh di atas itu.
"Dari 5 persen pertumbuhan tiap tahun, 3 persen berasal dari konsumsi. Yang artinya tidak menambah nilai dalam rantai ekonomi alias tidak menyerap pekerjaan dan menambah pendapatan negara di masa depan," tandasnya.
Memenuhi
Dia menambahkan, hanya 2 persen pertumbuhan ekonomi yang menggerakan dan memajukan ekonomi. Angka itu tidak akan cukup memenuhi pertumbuhan utang negara.
"Karena angka utang sudah mengarah pada pola gali lubang tutup lubang. Pada akhirnya, situasi ini pulalah yang bisa menjelaskan mengapa tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia masih berada pada level yang teramat tinggi," tegasnya.
Menurut Hardjuno, Indonesia telah berkali-kali melewatkan kesempatan (missopportunity) untuk melepaskan diri dari middle low income trap. Tapi itu tidak dimanfaatkan dengan baik.
"Pasalnya pembuat kebijakan berulangkali membuat kesalahan fatal. Yaitu utang yang tidak produktif dan mengabaikan sektor paling penting. Yakni pertanian dan sektor riil," ungkapnya.
Maka tak heran GDP per kapita Indonesia jauh di bawah Malaysia dan juga Thailand. Krisis 1998 perbankan kita sudah hancur karena digunakan pemilik dan oligarki dalam kejahatan BLBI dan Obligasi Rekap BLBI," paparnya.
Hardjuno menjelaskan, kredit property adalah kredit yang dikucurkan kepada konglomerat pengembang super blok mewah, mal-mal mewah, apartemen dan kawasan-kawasan elit. Yang mana sifatnya spekulatif.
Membengkak
Hal itu berbeda dengan property kelas bawah, yang sampai hari ini masih mengalami backlog (kekurangan suplai). Lebih lanjut dia mengatakan, saat Presiden SBY lengser, meninggalkan utang sebesar Rp 2.700 triliun.
"Sementara 9 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menambah utang sebesar Rp 5.300-an triliun. Bahkan hingga saat ini, utang pemerintah Indonesia per akhir Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun," jelasnya.