JAKARTA,suaramerdeka-jakarta.com-Suasana terasa terik, Senin (27/3) siang itu. Debu dan gersang terasa saat kita masuk ke kawasan pelabuhan curah Marunda yang berlokasi di kawasan Marunda, Jakarta Utara.
Suasana tampak sepi, hanya sesekali motor lewat memasuki kawasan itu. Tak ada lagi hiruk pikuk kendaraan dan alat berat yang keluar masuk pelabuhan untuk melakukan aktifitas bongkar muat.
Tak tampak juga ribuan pekerja yang sibuk melakukan aksi bongkar muat di wilayah pelabuhan yang di gerbangnya tertulis Kawasan Strategis Nasional tersebut.
Ya, sejak kawasan itu ditutup hampir setahun silam akibat dituduh menyebabkan pencemaran udara, pelabuhan yang setiap harinya disandari lebih dari 20 kapal untuk melakukan bongkar muat sudah seperti kawasan mati macam tak ada penghuninya.
Baca Juga: Baznas, UPZ Pertamina dan Bazma Resmi Berkolaborasi Kelola Zakat di Lingkungan Pertamina
Para pekerja sebagian besar memilih pulang kampung, sebagian lagi bertahan dan masih berharap ada perubahan kebijakan dari pemerintah untuk mengaktifkan kembali pelabuhan tersebut.
"Saya masih sering ke sini walaupun sudah ngga ada gajinya. Berharap pelabuhan ini aktif lagi," ujar salah satu mantan butuh bongkar muat, Hasan Basri kepada wartawan yang menyambanginya di pelabuhan tersebut.
Ayah satu anak tersebut berharap bisa kembali bekerja memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. "Pelabuhan ini tempat saya mengais rejeki. Mohon bisa diaktifkan kembali," terang pekerja asal Bekasi tersebut.
Untuk menyambung hidup, ungkap Hasan ia dan kawan-kawan yang bertahan di pelabuhan memilih kerja serabutan hingga ojek pangkalan.
"Pendapatan ya ngga menentu, yang ada hutang tambah banyak. Buat menutupi kebutuhan hidup. Paling pendapatan kerja serabutan sebulan hanya 500 sampai 600 ribu aja," keluhnya.
Sebelum ditutupkan kawasan pelabuhan yang dikelola PT Karya Citra Nusantara (KCN) tersebut, Hasan memiliki penghasilan tetap hingga 5 juta rupiah.
Keluhan serupa juga diungkapkan Bay Fauzi, mantan Mandor tenaga kerja bongkar muat (TKBM) pelabuhan Marunda. "Sekarang buat dapat 1 juta perbulan aja sulit banget rasanya. Apalagi biaya hidup makin berat. Saya masih punya dua anak yang jadi tanggungan biaya sekolahnya SD dan SMA," ungkap ayah empat anak tersebut.
Selama ini, lanjut pria yang akrab dipanggil mandor ubay ini, saat pelabuhan masih beroperasi penghasilannya mencapai 5-6 juta rupiah. "Sekarang mah boro-boro, bisa makan aja syukur," imbuhnya.
Artikel Terkait
Indonesia Incar Banyak Investor di Ajang Hannover Messe 2023
Penyaluran Kredit Kantor Cabang Luar Negeri BNI Tumbuh Positif Februari 2023
Harga Jual Kembali Mitsubishi Pajero Sport Tetap Menggiurkan, Ini Alasannya