Kader Parpol Sebelum Tersangka Bak Ratu, Setelah Tersangka Yatim Piatu

- Selasa, 28 Maret 2023 | 22:19 WIB
Logo NasDem (Ist.)
Logo NasDem (Ist.)

JAKARTA - Sebelum tersangka bak ratu, setelah tersangka menjadi yatim piatu. Itulah fenomena yang menimpa hampir semua kader partai politik di republik ini.

Demikian Karyudi Sutajah Putra, analis politik dari Konsultan dan Survei Indonesia (KSI) dalam rilisnya, Selasa (28/3/2023).

Ia mengomentari posisi anggota DPR RI dari Partai Nasdem Ary Egahni Ben Bahat, yang bersama suaminya, Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat ditetapkan sebagai tersangka suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (28/3/2023).

Begitu mendapat informasi Ary Egahny menjadi tersangka, Partai Nasdem pun langsung bereaksi.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim berjanji pihaknya akan menghormati proses hukum yang berlaku. Namun, katanya, Nasdem tidak akan memberikan pendampingan hukum bagi Ary Egahni. Mak jleb!

Apa yang dilakukan Nasdem itu, menurut KSP, panggilan akrab Karyudi Sutajah Putra, sudah jamak di partai politik mana pun.

“Begitu seorang kader terjerat korupsi, parpol langsung lepas tangan bahkan cuci tangan, seolah-olah kader tersebut seorang anak yatim piatu yang tak punya ayah dan ibu,” cetusnya.

Padahal sebelum menjadi tersangka, kata KSP, kader tersebut sering dibebani sumbangan ini-itu untuk acara dan kegiatan partai, bahkan ada yang untuk kantong pribadi oknum pengurus partai.

“Seolah-olah kader adalah ratu atau raja yang royal karena banyak duit, sehingga kerap diminta sumbangan. Kader semasa menjadi pejabat juga diperlakukan istimewa bak ratu atau raja oleh partai,” jelas KSP yang juga mantan Tenaga Ahli DPR.

Fenomena seperti itu dinilai KSP wajar, karena partai tak mau nama baiknya tercoreng gegara kadernya yang terjerat korupsi.

“Sebab, hal itu akan berpengaruh negatif terhadap citra dan elektabilitas partai,” tukasnya.

Adapun kader kerap menjadi sumber dana partai, bahkan bisa dikatakan sebagai “sapi perah”, kata KSP, juga wajar, karena partai membutuhkan biaya besar untuk kegiatan-kegiatannya, apalagi sumbangan pemerintah kepada partai relatif kecil. “

”Inilah yang menjadikan KPK pernah menyarankan agar dana parpol dari pemerintah diperbesar untuk meminimalisir korupsi,” paparnya.

Akibat minimnya dana parpol dari pemerintah, kata KSP, maka tidak jarang dalam setiap perhelatan politik, apakah itu pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum legislatif, bahkan mungkin pemilihan umum presiden, parpol kerap menerapkan “mahar” bagi calon kandidatnya. “Mahar politik akhirnya menjadi fenomena yang lumrah,” terangnya.

Halaman:

Editor: Arif Muhammad Iqbal

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Bijak dan Lawan Hoaks

Selasa, 30 Mei 2023 | 16:35 WIB

Pentingnya Pemerataan Akses Internet

Selasa, 30 Mei 2023 | 16:18 WIB
X