JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com- Sejumlah petani yang tergabung dalam Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) mendatangi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta, Selasa, 14 September 2021.
Petani Kopsa M datang ke LPSK untuk meminta perlindungan karena merasa dikriminalisasi oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V dan Polres Kampar.
Kriminalisasi yang diterima para petani terkait masalah sengketa lahan antara Kopsa M dengan PTPN V di Desa Pangkalan Baru, Siak Hulu, Kampar, Riau.
Kehadiran para petani ke LPSK didampingi Tim Advokasi Keadilan Agraria Setara Institute.
"Perwakilan 997 petani yang sedang memperjuangkan hak-haknya yang dirampas PTPN dan pihak swasta lainnya ini mendatangi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK telah menetapkan petani-petani Kopsa M berada dalam status perlindungan lembaga negara ini," ujar Ketua Setara Institute, Hendardi.
Menurut Hendardi, kriminalisasi terhadap petani Kopsa M atas laporan PTPN V dan proses tidak prosedural Polres Kampar, menunjukkan bahwa cara-cara lama perusahaan BUMN berkolaborasi dengan penegak hukum belum berubah.
"Praktik ini seharusnya menjadi masa lalu. Tetapi faktanya di lapangan masih banyak terjadi. Klaim bahwa PTPN V compliance dengan standar sustainability policy dan standar bisnis dan HAM dalam tata kelola perkebunan, ternyata hanya menjadi slogan untuk dagang Sawit ke dunia internasional," ungkap Hendardi.
Petani yang menjual hasil kebun sendiri, kata Hendardi, justru dituduh menggelapkan barang oleh PTPN V. Selanjutnya, Polres Kampar merampas truk milik koperasi dan melaporkannya kepada Polres Kampar.
Dalam waktu kurang dari 24 jam, Polres Kampar telah menetapkan dua petani sebagai tersangka. Kasus dengan nomor LP/434/IX/2021/SPKT/POLRES KAMPAR/POLDA RIAU, tanggal 1 September 2021 ini, telah menjerat Kiki Islami Parsha, pada 2 September 2021 dan Samsul Bahri pada 7 September 2021.
Baca Juga: Mendagri Diminta Ingatkan Bupati Kampar Bersikap Profesional dalam Menangani Perjuangan 997 Petani
Petani-petani ini, lanjut Hendardi, adalah saksi dan korban dari tata kelola PTPN V yang tidak akuntabel dan memperdaya rakyat dalam skema kerja sama yang tidak setara.
"Penggunaan instrumen hukum untuk membungkam petani adalah tindakan indisipliner dan kesewenang-wenangan aparat yang tidak boleh dibiarkan," tegas Hendardi.
Menkopolhukam Mahfud Md dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, menurut Hendardi, harus menghentikan kriminalisasi yang dilakukan institusi-institusi negara dan BUMN.
"Kompolnas dan Bareskrim Polri harus mengawasi secara langsung dan seksama atas peragaan kesewenang-wenangan aparat Polri. Visi Polri yang Presisi dari Kapolri harus dipatuhi jajaran kepolisian di level Polda, Polres dan Polsek di seluruh Indonesia," pungkas Hendardi. ***