JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com - Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) selalu dipertentangkan dengan pembangunan dan investasi yang dilakukan oleh korporasi besar. Hal itu membuat RUU tersebut tidak kunjung dibahas sebagai inisiatif DPR.
“Ada narasi negatif yang selalu mendiskreditkan RUU MHA. Kita lupa, ada hal-hal yang lebih penting lainnya di dalam RUU tersebut. Dimana tidak hanya mengatur hak atas tanah, hak atas sumber daya alam dan hak atas hukum adatnya saja,” kata Ketua Panitia Kerja RUU MHA Willy Aditya di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/11).
Hal itu disampaikannya dalam diskusi Forum Legislasi bertema Urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat. Menurutnya, RUU tersebut juga mengatur beberapa kedaulatan yang sifatnya hak untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing.
Dia menambahkan, dua bahasa daerah hilang setiap tahun, karena proses penggunaannya tidak pernah dikonservasi. Selain itu, tidak pernah ada kebijakan untuk melindungi dan juga tidak pernah digunakan.
“DPR sebenarnya tinggal memparipurnakan saja agar sah menjadi hak inisiatif DPR. Baru nanti kita lihat babak berikutnya. Sampai kapan ini akan berlanjut, tergantung political will. Karena sampai hari ini belum ada titik temu antara pemerintah dengan DPR,” ujarnya.
Artikel Terkait
Perlu UU untuk Lindungi Masyarakat Hukum Adat