FESMI Pertanyakan Permohonan Pengujian UU Hak Cipta 2014 ke MK

- Selasa, 7 Desember 2021 | 18:09 WIB
FESMI (Istimewa)
FESMI (Istimewa)

JAKARTA, Jakarta.Suaramerdeka.com,-
Federasi Serikat Musisi Indonesia / FESMI, salah satu organisasi tempat bernaung musisi Indonesia, mempertanyakan upaya para pihak produser tertentu dalam hal ini adalah perusahaan rekaman (Pemohon), yang memohon pengujian UU Hak Cipta tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi.

Permohonan antara lain menyangkut penghapusan pengembalian hak cipta dan hak terkait kepada pemilik karya lagu dan pelaku pertunjukan (dalam hal ini adalah penyanyi dan pemusik rekaman) setelah 25 tahun masa perjanjian jual putus berlalu.

FESMI, sebagaimana rilis resmi yang diterima Suaramerdeka, Selasa (7/12/2021), berpendapat bahwa hal tersebut dapat ‘membuka luka lama’ para pencipta lagu dan penyanyi serta pemusik.

Yaitu menimbulkan kembalinya praktik yang berat sebelah (penjualan dengan harga tidak sesuai), antara produser dengan pencipta lagu dan/atau pelaku pertunjukan (penyanyi dan pemusik).

Undang Undang Hak Cipta nomor 28 tahun 2014 (UU Hak Cipta 2014), yang saat ini beberapa pasalnya dimohonkan untuk diuji, pada dasarnya memberikan perlindungan hukum secara terpisah kepada masing-masing profesi dalam dunia musik.

Yakni, Pencipta Lagu (atas karya lagu), Pelaku Pertunjukan (atas suara penyanyi dan pemusik yang direkam) dan Produser / Perusahaan Rekaman (atas master, yang berisikan lagu dan nyanyian).

Hak Pelaku Pertunjukan dan Hak Produser juga diistilahkan Hak Terkait.

Sebagai latar belakang, puluhan tahun sebelum UU Hak Cipta 2014, praktik jual putus atas lagu dan nyanyian dilakukan oleh Produser kepada mereka yang berada pada posisi lemah, yang mengakibatkan hak ekonomi berpindah selamanya ke tangan Produser.

Atas perjuangan beberapa tokoh musik yang didukung oleh PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu Pemusik Republik Indonesia), maka UU Hak Cipta melakukan koreksi atas praktik yang berat sebelah.

Dengan memunculkan pasal 18 dan 30, membatasi jual putus ‘selamanya’ menjadi 25 tahun, tanpa menghilangkan hak Produser atas masternya (hingga 50 tahun, yang mana setelah masa ini master menjadi milik masyarakat/habis masa perlindungan).

Pasal 18 dan 30 dalam nomenklatur hak cipta disebut sebagai Termination Rights (Reversionary Rights), yang secara konsekuensi logis memungkinkan pemilik lagu dan nyanyian di satu pihak, dan pemilik master di lain pihak, ‘memutihkan’ perjanjian lama (transaksi jual putus) dengan sebuah perjanjian baru.

Nyatanya, sejak 2014 hal ini telah dan terus berlangsung. Ada yang berhasil mengadakan perjanjian baru, tetapi ada juga yang belum, sehingga sebuah master lama (katalog lama) berstatus ‘mangkrak’.

Artinya, Produser tidak bisa melanjutkan peredaraan dan Pencipta serta Pelaku Pertunjukan juga tidak bisa mendapat tambahan pendapatan.

Secara logika, master rekaman tidak dapat diproduksi dan dieksploitasi secara maksimal tanpa adanya kreatifitas, peran, dan rasa memiliki dari para pencipta yang menciptakan lagu dan artis rekaman yang membawakan.

Halaman:

Editor: Budi Nugraha

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Tiba di Mekkah, Kloter 1 Langsung Umroh Wajib

Kamis, 1 Juni 2023 | 23:25 WIB

Kiat Tepat Bermedia Sosial

Kamis, 1 Juni 2023 | 18:07 WIB

Denny JA: Pancasila Pecahkan Rekor Dunia

Kamis, 1 Juni 2023 | 15:32 WIB

MyPertamina Tebar Hadiah

Kamis, 1 Juni 2023 | 15:14 WIB
X