JAKARTA, Jakarta.Suaramerdeka.com,- Pengajuan permohonan pengujian UU Hak Cipta No 28 Tahun 2014 oleh Perusahaan Rekaman Musik kepada Mahkamah Konstitusi menimbulkan reaksi keberatan dari para Pencipta Lagu, Penyanyi dan Pemusik.
Untuk itu organisasi dan asosiasi yang menanungi beserta para seniman musik Indonesia terpanggil untuk menyampaikan kepada masyarakat luas terkait masalah ini. Organisasi profesi musik itu antara lain PAMMI, PAPPRI, FESMI, KCI, LMK PAPPRI, SMI, ARDI, RAI, WAMI dan LMK lainnya beserta tokoh tokoh musik.
Pasal yang dimintakan untuk diuji itu adalah pasal 18 dan 30 serta 122 UU Hak Cipta yang pada prinsipnya menyatakan bahwa saat telah mencapai jangka waktu 25 tahun maka hak cipta atas lagu tersebut yang pernah dijual putus dan/atau dialihkan tanpa batas waktu kembali kepada Pencipta Lagu dan Pemilik Hak Terkait.

Baca Juga: Skandal PENsubsektorfilm
Artinya, sebagaimana rilis resmi yang dikeluarkan Insan Musik Indonesia, Jumat (10/12/2021) setelah 25 tahun perusahan rekaman musik mengeksploitasi lagu tersebut untuk keuntungannya, maka hak cipta atas lagu tersebut kembali kepada pencipta lagu, penyanyi dan pemusik.
Ini dapat disebut sebagai "harta karun" musik yang kembali kepada pemiliknya. Disampung itu juga memohon untuk diuji pasal 63 ayat (1) huruf (b) dengan memohon hak ekonomi Produser Phonogram yang ditetapkan UU Hak Cipta 50 tahun menjadi 7O tahun.
Mengapa sampai Pemerintah dan DPR sebagai pembuat UU Hak Cipta memasukkan pasal 18 ini? Jika ditelusuri maka hal ini dilatarbelakangi oleh sistem industri musik beberapa dekade lalu yang menempatkan Pencipta Lagu dalam posisi tawar yang sangat lemah sementara Perusahaan Rekaman dalam posisi yang sangat kuat dengan kekuatan modalnya.

Baca Juga: Mercon Banting Pesta PEN Subsektor Film
Dengan kondisi seperti ini maka dapat dikatakan banyak perjanjian atas karya cipta lagu yang dibuat tidak mencerminkan asas keadilan serta keseimbangan hak dan kewajiban Para Pihak.
Perjanjian jual putus yang memberikan hak atas lagu selama-lamanya (tanpa jangka batas waktu) kepada perusahaan rekaman adalah contoh produk perjanjian yang banyak ditemukan saat itu.
Keluhan ini disampaikan banyak pihak dalam masa proses pemyusunan Revisi UU Hak Cipta. Pemerintah dan DPR sepakat untuk melindungi warga negara khususnya Pencipta Lagu yang kehilangan haknya selama lamanya akibat posisi tawarnya yang lemah di dalam membuat perjanjian atas karya cipta lagu.
Kenyataan tragis ini mendasari pemikiran lahirnya pasal 18 UU Hak Cipta yang diikuti juga dengan pasal 30.
Artikel Terkait
Royalti Lagu dan Musik Milik Siapa?
Keruwetan Punya Nama Baru; Royalti
Musica Studios dkk Seperti Perompak Menjerit Dirampok
FESMI Galang Dukungan Lakukan Perlawanan Kepada Musica Studios DKK
FESMI Pertanyakan Permohonan Pengujian UU Hak Cipta 2014 ke MK