Minyak Goreng Mahal karena CPO Diserap untuk Biodiesel

- Rabu, 16 Februari 2022 | 23:55 WIB
Tangkapan layar diskusi Gelora Talk bertema Minyak Goreng Langka, Ada Apa? Rabu (16/2). (Saktia Andri Susilo)
Tangkapan layar diskusi Gelora Talk bertema Minyak Goreng Langka, Ada Apa? Rabu (16/2). (Saktia Andri Susilo)

JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com – Naiknya harga minyak goreng tak lepas dari kebijakan pemerintah yang mengakibatkan penyerapan crude palm oil (CPO) dalam negeri untuk industri biodiesel. Padahal, sebelumnya penyerapan CPO lebih banyak untuk industri pangan, yakni diatas 50 persen.

“Tapi lama-lama turun dan pada 2022 akan berada di bawah 50 persen. Dimana industri biodiesel meningkat, dimana sebelumnya hanya menyerap 34,5 persen pada 2019, namun kini menyerap CPO sebanyak 42,9 persen atau hampir sama dengan kebutuhan CPO untuk industri pangan,” kata ekonom senior Faisal Basri, Rabu (16/2).

Hal itu disampaikannya dalam diskusi Gelora Talk bertema Minyak Goreng Langka, Ada Apa? Menurutnya, sebentar lagi biodiesel menjadi pemain utama yang akan menyerap CPO.

“Selain itu, industri oleokimia yang memproduksi margarin dan kosmetik juga meningkat. Yang tadinya 6,6 persen menjadi 11,5 persen pada tahun 2021 dan 10,5 persen pada tahun ini. Pendek kata, tren penyerapan CPO untuk oleokimia dan biodiesel naik dan untuk industri pangan justru turun,” ujarnya.

Hal itu disebabkan karena kebijakan pemerintah mewajibkan solar mengandung 20 persen hingga 30 persen biodiesel. Karena wajib, maka konsumsi CPO naik padahal produksi sawit tidak meningkat secepat kebutuhan akan CPO untuk biodiesel.

“Program biodiesel (B20/B30) bersifat wajib (mandatori) untuk mengurangi impor dan subsidi minyak solar. Kemudian, harga CPO untuk biodiesel dijual berdasarkan harga internasional, sedangkan harga CPO untuk domestik lainnya dijual berdasarkan harga domestik. Sehingga, produsen biodiesel dijamin tidak bakal merugi,” tandasnya.

Nombok
Akibatnya, pengusaha lebih suka untuk menjual CPO untuk biodiesel dibandingkan untuk produksi minyak goreng. Sedangkan sumber dana untuk menomboki kesenjangan harga berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

“Dana BPDPKS dinikmati oleh pengusaha besar untuk subsidi biodiesel sebesar Rp 110 triliun atau 79,04 persen. Sementara, peremajaan sawit rakyat (PSR) hanya Rp 6,6 triliun atau 4,73 persen,” ungkapnya.

Adapun Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menegaskan, kebijakan nasional yang mengakibatkan pengalihan konstruksi dari bahan pokok menjadi energi, akan memiliki efek massif. Selain itu, negara seharusnya mampu untuk memitigasi kelangkaan dengan menggunakan lembaga statistik yang kredibel.

“Sehingga dapat melacak berapa sebenarnya proyeksi pertumbuhan semua komoditas yang memiliki efek pada suplai. Jangankan antisipasi, terjadi surplus saja tidak sanggup mengatasinya,” ucap dia.

Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSINDO) Hasan Basri mengungkapkan, kebijakan yang diskriminatif membuat harga minyak goreng di pasar tradisional jauh lebih tinggi dibandingkan di pasar modern. Namun, pemerintah baru mulai bereaksi setelah muncul protes.

“Ini menjadi suatu kebiasaan yang rutin dan tradisi panjang terkait komoditas di Indonesia. Sehingga seakan menjadi ritual yang selalu terjadi hampir setiap tahun. Kami berharap agar kebijakan yang diskriminatif jangan lagi dilakukan,” tukasnya.

Editor: Arif Muhammad Iqbal

Tags

Terkini

Prakiraan Cuaca Besok Senin, 27 Maret 2023

Minggu, 26 Maret 2023 | 13:50 WIB

Kesusilaan dalam Media Sosial adalah Kunci

Minggu, 26 Maret 2023 | 12:51 WIB
X