SEEKING ALPHA – JANUARI 2022 Narsum: Syuhada Arief – Senior Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife As

- Kamis, 24 Februari 2022 | 06:02 WIB



 
SEPERTI dejavu, memasuki awal 2022 pasar obligasi dunia kembali bergejolak ditandai oleh kenaikan imbal hasil US Treasury Amerika Serikat yang naik hingga 1.70%. Apa penyebabnya?
 
Normalisasi pertumbuhan ekonomi dan normalisasi kebijakan moneter menjadi tema utama pasar global di tahun ini. Kenaikan masif pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat di 2021 yang disertai oleh kenaikan inflasi mendorong bank sentralnya (The Fed) untuk melakukan penyesuaian kebijakan moneter.

Arah kebijakan The Fed terlihat semakin hawkish, mempercepat laju tapering menjadi USD30 miliar per bulan (USD20 miliar US Treasury dan USD10 miliar Agency Mortgage-Backed Securities) dari sebelumnya hanya USD15 miliar per bulan.

Baca Juga: Puan: Kepala Otorita IKN Nusantara Harus Dipercaya Publik
 
Selain itu, risalah rapat The Fed juga mengindikasikan ekspektasi kenaikan suku bunga acuan sampai tiga kali di tahun ini. Sebetulnya langkah ini sudah sedikit banyak diantisipasi oleh pelaku pasar, terlihat dari data konsensus yang sudah memperkirakan kenaikan suku bunga di tahun ini lebih dari dua kali bahkan sejak bulan November lalu.

Faktor high base berpotensi untuk meredakan tekanan inflasi dan menyebabkan moderasi terhadap rilis data ekonomi ke depannya, sehingga komunikasi bank sentral akan sangat krusial terutama di tengah dinamika pandemi dan normalisasi ekonomi

. Sinyal dovish akan dianggap kurang peka terhadap kondisi yang ada, sementara sinyal yang terlalu hawkish dapat memberikan sentimen negatif bagi pemulihan ekonomi dan pasar finansial. Keseimbangan akan menjadi kunci.

Baca Juga: PT MD Pictures Tbk Rilis Film Garis Waktu Tayang di Bioskop Serentak 24 Februari 2022;
 
Berkaca pada turbulensi yang terjadi di tahun 2013, apakah perekonomian Indonesia kini dapat ‘tahan’ terhadap dampak normalisasi The Fed?
 
Seperti halnya dengan dengan sebagian besar negara di Asia, Indonesia berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan tahun 2013 ketika The Fed mengumumkan pengurangan program kuantitatif. Indikator stabilitas makroekonomi seperti suku bunga riil, inflasi, neraca transaksi berjalan dan cadangan devisa menunjukkan perbaikan yang sangat berarti sehingga kondisi ini dapat membuat Indonesia menjadi lebih kuat dalam menghadapi normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat.

Selama proses normalisasi dikomunikasikan dengan baik, berjalan sesuai rencana dan kenaikan imbal hasil US Treasury terjadi secara bertahap maka Indonesia terlihat siap dalam menghadapi normalisasi ini.


 Baca Juga: Kasus JHT Sinyal Kuat atas Likuiditas SUN


Bagaimana potensi pasar obligasi Indonesia berdenominasi rupiah di tahun ini?
 
Secara teori memang betul bahwa dalam periode siklus kenaikan suku bunga, kelas aset obligasi akan menghadapi lebih banyak tantangan, sesuai dengan prinsip bahwa suku bunga dan harga obligasi berbanding terbalik.

Namun yang perlu dicermati adalah fundamental makro ekonomi Indonesia sangat baik dan lebih siap dalam menghadapi potensi kenaikan suku bunga didukung oleh beberapa hal:

Baca Juga: Meski Pemain Arab Unggul Postur, Timnas Basket Indonesia Tak Gentar, Tetap Optimistis Raih Kemenangan
 
1.    Berkurangnya target penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di 2022 menjadi IDR991.3 triliun.
2.    Pemulihan ekonomi dan rencana pemerintah untuk menekan defisit anggaran di bawah 3% di 2023 berpotensi mengurangi tekanan pembiayaan dan penerbitan SBN ke depannya. Sejauh ini pemulihan ekonomi berdampak positif terhadap penerimaan negara, di mana pada 2021 penerimaan pajak – untuk pertama kalinya dalam dua belas tahun – melebihi target APBN sebesar 14.9%.
3.    Rendahnya kepemilikan asing – sudah turun ke level 19% vs 37% di 2018 di mana pada tahun tersebut juga terjadi kenaikan suku bunga – dapat mengurangi risiko foreign portfolio outflow ketika kondisi sentimen global memburuk.

Baca Juga: Britama Open 2022 Jadi Panggung Petenis Muda


4.    Berlanjutnya skema burden sharing antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan yang dapat mengurangi tekanan pembiayaan di pasar perdana. Selama tahun 2021 Bank Indonesia melakukan pembelian SBN melalui mekanisme burden sharing sebesar IDR358.3 triliun.
5.    Pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar IDR269.2 triliun – lebih besar dari rata-rata SAL dalam 10 tahun terakhir di IDR146.3 triliun – dapat digunakan untuk menutupi kekurangan dalam pembiayaan di 2022.
Tadi sudah disinggung terkait obligasi mata uang Rupiah, bagaimana dengan peluang obligasi denominasi dolar?

Baca Juga: Ida Fauziyah: Permenaker JHT Akan Saya Revisi
 
Secara historis meskipun obligasi denominasi dolar lebih banyak dipengaruhi oleh pergerakan imbal hasil US Treasury, namun beberapa katalis obligasi rupiah yang telah disampaikan sebelumnya juga berdampak positif pada obligasi dolar.

Rendahnya rencana penerbitan obligasi dolar yang hanya sekitar 11%-14% dari total penerbitan SBN dapat mengurangi jumlah pasokan di pasar. Di samping itu obligasi dolar juga didorong oleh mulai stabilnya pergerakan credit default swap Indonesia tenor lima tahun yang berada <80 basis poin, lebih rendah dibandingkan rerata dalam 3 bulan terakhir di 81.15 basis poin.

Halaman:

Editor: Budi Nugraha

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Bijaklah Bermedsos, Saring Sebelum Sharing

Senin, 29 Mei 2023 | 09:21 WIB

Berkomunikasi di Media Digital dengan Benar.

Senin, 29 Mei 2023 | 07:19 WIB

Memanfaatkan Medsos.

Minggu, 28 Mei 2023 | 23:26 WIB

Ibul: Prabowo Komit Kedaulatan Pangan & Energi

Minggu, 28 Mei 2023 | 22:01 WIB

Digitalpreneur adalah Kunci

Minggu, 28 Mei 2023 | 09:27 WIB

Pemanfaatan Digital Bagi Pertanian

Minggu, 28 Mei 2023 | 08:37 WIB
X