"Karena tanpa ada pemilu, mereka akan tetap berkuasa dan masa jabatan bertambah secara otomatis selama dua tahun. Bahkan, elit memutuskan sendiri tanpa ada persetujuan rakyat," kritiknya.
Penundaan pemilu yang sepaket dengan perpanjangan masa jabatan, dapat diperoleh melalui amandemen. Lagi-lagi dengan mengebiri suara rakyat.
"Yang membuat mereka begitu berani mewacanakan penundaan pemilu adalah karena selama masa pandemi, mereka berhasil mempersempit ruang gerak publik. Termasuk ruang partisipasi masyarakat dalam berbagai pengambilan keputusan publik," paparnya.
Dimana sekuat apapun masyarakat melawan, mereka tetap jalan terus. Sehingga, mayoritas produk hukum dan Undang-undang kontroversial berhasil digolkan.
"Keberhasilan-keberhasilan itu memberi kepercayaan luar biasa untuk membuat hal-hal yang bahkan melampaui yang kita bayangkan. Dimana hal itu justru dilakukan oleh pejabat publik yang seharusnya dipilih melalui mekanisme pemilu," imbuhnya.
Kekuatan terpusat pada presiden melalui pendekatan akomodatif kepada kekuatan politik untuk bisa masuk kabinet, harus diakui melemahkan fungsi kontrol parlemen. "Ini yang juga mempersempit ruang-ruang publik dan memudahkan mereka mengambil keputusan-keputusan yang berjarak dengan aspirasi rakyat," tukasnya.