BANDUNG, suaramerdeka-jakarta.com, Kejahatan atau kecurangan dalam industri asuransi kerap terjadi dengan cara menyembunyikan fakta material. Misalnya, merekayasa klaim asuransi hingga menipu.
Pelakunya adalah oknum tertanggung maupun penanggung, atau pihak-pihak yang berkepentingan terhadap asuransi. Tujuannya tak lain mendapatkan keuntungan material lebih di luar haknya sebagai salah satu pihak.
Ketua Bidang Regulasi, Kepatuhan, dan Litigasi AAJI, Rudi Kamdani, menjelaskan setidaknya ada beberapa kejahatan asuransi jiwa yang sering terjadi di Indonesia. Pertama, pemalsuan dokumen klaim asuransi jiwa.
"Salah satunya memalsukan surat keterangan kematian. Data kematiannya fiktif. Pelaku seolah-olah telah dinyatakan meninggal dunia," kata dia di Bandung, Kamis, 30 Juni 2022.
Kedua, adalah modus kejahatan yakni dengan cara membeli poli asuransi jiwa untuk orang yang sudah meninggal dunia. Ketiga, menggunakan identitas dengan tidak sebenarnya. Keempat, pemalsuan klaim rawat inap.
“Seperti menggunakan poli dirawat di rumah sakit A, seminggu kemudian dirawat di rumah sakit B, seminggu kemudian dirawat di rumah sakit C,” sebutnya.
Baca Juga: Ini Isi pidato Vladimir Putin Saat Bersama Jokowi di Istana Kremlin Moskow
Kelima, yakni modus pemalsuan diagnosa penyakit. Berbagai modus itu dilakukan untuk merekayasa klaim asuransi, baik itu dengan cara membuat klaim asuransi palsu atau memalsukan dokumen atau nilai klaimnya. Jadi, tertanggung bisa mendapatkan penggantian yang tidak seharusnya.
Rudi menyatakan kejahatan asuransi jiwa ini dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif. Di antaranya menyebabkan citra buruk terhadap nama baik perusahaan. "Muncul stigma negatif di masyarakat, bahwa perusahaan asuransi dituding mempersulit klaim. Perusahaan asuransi jiwa hanya menjalankan prosedur secara benar, tak asal mencairkan polis asuransi jiwa," tegasnya.
Dampak lainnya yaitu terhambatnya proses klaim asuransi. Selain itu, pembayaran premi nasabah yang lebih mahal dari semestinya karena akibat banyaknya klaim fiktif.***