JAKARTA. suaramerdeka-Jakarta.com- Pro kontra terhadap mencla-menclenya keputusan Kemenag terhadap Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah (PMBS), Jombang, Jawa Timur, berhamburan dahsyat. Salah satunya dari Mohamad Aan Anshori, Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur dan aktifis GUSDURian Jombang. Ia bingung kenapa Kemenag jadi mencla-mencl terhadap Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah.
Menurut Gus Aan, ia kurang paham dengan maunya pemerintah ini dengan kebijakan itu. "Ngomongnya dicabut kemudian tidak jadi dicabut dan lain sebagainya. Ini tentunya jadi kebijakan yang membingungkan. Ini juga seolah menyatakan bahwa sebenarnya publik tidak cukup tahu apa yang dikehendaki pemerintah dengan mencabut izin dan kemudian tidak mencabut izinnya," tandas Gus Aan.
Seyogyanya, mau mencabut atau tidak mencabut izinnya, problemnya adalah <span;>sejauh mana pemerintah itu benar-benar bisa mengevaluasi Pesantren Siddiqiyyah itu. "Ini menyangkut apakah ada korban-korban yang lain atau tidak? Jadi kan begitu sebenarnya. Jadi kalau aku jadi pemerintah kan begin tindakannya. Pasca tertangkapnya MSAT, kan harusnya pemerintah membuka hotline. Membuka hotline bagi santriwati santriwan atau wali murid yang anaknya atau dirinya, misalkan pernah menjadi korban, maka dia bisa lapor dengan aman," cetus Gus Aan.
Baca Juga: Malam ini Final Piala Presiden, BRIMo Penalty Shoot Kembali Ramaikan Kompetisi Puncak
<span;>Lanjutnya lagi, "Pemerintah kan enggak mikir kayak gitu- gitu. Malah ribut dengan dicabut dan tidak dicabut padahal yang paling substansi adalah, apa sebenarnya langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah itu pasca tertangkapnya MSAT?" cetusnya.
Gus Aan mencoba mengurai lebih jauh. Menurutnya, harusnya pemerintah menginvestigasi dan mengevaluasi terkait dengan ada atau tidaknya korban-korban yang lain. Yang kedua, ya sejauh mana tindakan pemerintah terhadap pondoknya MSAT ini? Memastikan keberlanjutan pendidikan santriwati dan santriwan secara keseluruhan. Lalu apakah pesantren ini sudah memenuhi standar ramah anak?
"Jangan-jangan pemerintah dalam hal ini Kemenag, tidak pernah memiliki bagaimana format pesantren yang ramah anak dan ramah perempuan. Jangan-jangan mereka nggak punya sehingga cuma ribet dengan urusan apakah ini cuma isinya dicabut atau tidak dicabut," tandasnya.
Baca Juga: Jeblok Menurut Survei, Puan Dipuji Kedepankan Kinerja Ketimbang Pencitraan
Menurutnya, pemerintah sangat lemah terkait dengan pesantren pesantren itu. Apalagi kalau dlihat bahwa kasus kekerasan seksual di pesantren itu kan tidak cuma terjadi di Ploso saja. Banyak seperti itu, kok. Nah ini yang menurutnya penting. Pembinaan, pengawasan dan evaluasinya kayak apa? Jangan sampai kemudian para santri serta orang tua santri yang menitipkan anaknya di sana itu harus was-was tak berujung.
Sebelumnya hal senada juga disorot JIAD yang mendesak Kemenag (Kementerian Agama) memfasilitasi para santri/wati Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah (PMBS), Jombang, agar dapat melanjutkan proses pembelajaran di pesantren lain.
“Kemenag juga memiliki kewajiban mendampingi PMBS agar pesantren ini bisa aktif kembali dengan corak yang lebih ramah anak dan perempuan,” ujar Gus Aan Anshori.
Baca Juga: Insiden Brigadir J, Trimedya Panjaitan Minta Polisi Menunjukkan Hasil Olah TKP
Dia mengungkapkan, meski terbilang telat, pihaknya mengapresiasi langkah Kemenag yang mencabut izin PMBS sebagai konsekuensi atas tidak kooperatifnya pesantren ini menyelesaikan kasus dugaan kekerasan seksual MS terhadap beberapa santriwatinya.
Pencabutan ini idealnya juga diterapkan pada institusi pendidikan (agama) yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual. Mengingat cukup banyak institusi pendidikan Islam bercorak pesantren yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini. JIAD mendesak Kemenag agar secara serius membuat roadmap yang jelas terkait penghapusan kekerasan seksual di lingkungan pesantren.
“Misalnya, Kemenag mewajibkan semua pesantren untuk memiliki SOP terkait pesantren ramah anak dan perempuan,” pungkas aktivis yang ramah ini.
Baca Juga: Airnav Info Update Dampak Erupsi Gunung Anak Krakatau
Sebagaimana diketahui, Kementerian Agama (Kemenag) mencabut izin operasional Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur. Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Waryono, mengungkapkan jika nomor statistik dan tanda daftar pesantren Shiddiqiyyah telah dibekukan.
“Sebagai regulator, Kemenag memiliki kuasa administratif untuk membatasi ruang gerak lembaga yang di dalamnya diduga melakukan pelanggaran hukum berat,” tegas Waryono dalam rilisnya beberapa waktu lalu.
Tindakan tegas ini diambil karena salah satu pemimpinnya yang berinisial MS merupakan tersangka dalam kasus pencabulan dan perundungan terhadap santri. Pihak pesantren juga dinilai menghalang-halangi proses hukum terhadap yang bersangkutan.
Baca Juga: Sistem Penanganan PMK Harus Diperbaiki, Perlu Tes Deteksi Dini Untuk Hewan
Tapi entah kenapa, pencabutan itu dibatalkan.
***
Artikel Terkait
Dua Pernyataan Muhammadiyah Terkait Kasus Mas Bechi: Dari Semua Sama di Mata Hukum Hingga Kritik Kemenag
Kemenag RI dan Kemenhaj Saudi Bentuk Tim Bersama Siapkan Haji 2023
Imbas Kasus Pelecehan Seksual, Manajer Timnas Thailand U-23 Madam Pang Terancam Dipecat