JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com - Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Prof. San Afri Awang menilai bahwa Konsep Kawasan Hutan Dalam Pengelolaan Khusus (KHDPK) merupakan inovasi yang bernas. Dalam konteks lingkungan hidup di Pulau Jawa yang sering terganggu adalah bencana iklim yaitu banjir. Menurutnya, penyebabnya beragam, salah satunya lahan kritis seluas 470 ribu ha di dalam kawasan hutan negara.
"Lahan kritis ini bukan karena adanya KHDPK, justru KHDPK ingin memperbaiki lahan kritis ini. Perdebatan publik yang mengatakan KHDPK penyebab kerusakan lingkungan adalah salah total. Sebelum ada KHDPK lingkungan alamnya sudah rusak," ujarnya, dalam keterangan yang diterima, Selasa (26/7).
Dikatakan, lahirnya KHDPK di Jawa harus dilihat secara holisik pada ekosistem Pulau Jawa. Pulau Jawa luasnya sekitar 13 juta ha, terdiri dari 3,4 juta ha hutan negara, sekitar 3 juta ha hutan rakyat (tanah milik), dan sisanya adalah penggunaan lain. Hilangnya angka kecukupan luas hutan minimal 30% dari luas daratan/DAS dalam UUCK No.11/2020 harus dibaca dengan cerdas dan inovatif.
Khusus Pulau Jawa hilangnya angka 30% memang satu keniscayaan, sebab banyak masalah yang harus diselesaikan di pualu jawa. PP 23/2021 dan Permen LHK no.9/2021 memastikan bahwa hutan rakyat harus dihitung sebagai bentuk tutupan lahan di pulau jawa yang luasnya sekitar 3 juta.
Sistem registrasi akan dikenakan pada hutan rakyat dengan insenttif bagi pemilik hutan rakyat. Kekhawatiran publik akan kekurangan tutupan vegetasi terjawab dengan diakomodirnya hutan rakyat bagian dari tutupan vegetasi di Pulau Jawa.
Dengan hutan rakyat, lanjut Prof San Afri, maka Pulau Jawa memiliki tutupan vegetasi seluas 6,4 juta ha (45%) berasal dari areal perhutani 1,4 juta ha areal perhutani, areal hutan rakyat 3 juta ha, areal konservasi 1 juta ha dan areal KHDPK sekitar 1 juta ha. Hutan rakyat menghasilkan kayu bulat lebih dari 20 juta m3 per tahun, sementara perhutani menghasilkan kayu bulat kurang dari 700 ribu m3 per tahun.
"Mari kita melihat pulau jawa dan lingkungan serta ekosistem pulau jawa dalam satu kesatuan utuh pulau dan segala isinya, jangan hanya melihat dari sisi pandang hutan negara saja. Terima kasih pada rakyat yang telah membangun hutan rakyat secara mandiri dan secara bantuan pemerintah,” kata Prof San Arfi.
Dengan hutan rakyat dan hutan negara di kalkulasi secara bersama sama telah menjadikan daya dukung alam lingkungan di Pulau Jawa membaik. Kalkulasi jasa ekosistem penyedia air di pulau jawa menunjukkan bahwa hutan negara berada pada kelas tinggi sebagai komponen penyedia jasa air, dan hutan rakyat serta kebun campur berada pada kleas sedang sebagao komponen penyedia jasa air di pulau Jawa. Tanpa kontribusi hutan rakyat maka pulau jawa akan mengalami defisit air lebih banyak.
Terkait dengan adanya silang pendapat, dirinya mengimbau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera memberikan penjelasan dan informasi secara menyeluruh. Dengan demikian masyarakat bisa memaham secara persis tata kelola dan pemanfaatan KHDPK.
"Masalah terbesar sebenarnya ada pada KLHK sendiri, karena saat ini terlihat seperti ragu-ragu. Keragu-raguan ini terlihat dari tidak jelasnya peta areal KHDPK yang belum di sampaikan ke publik. Saran saya kLHK tegak lurus pada peraturan perundangan saja dan segera pastikan peta KHDPK yang ada sebagai lampiran SK 287 tersebut," ujarnya.
Menurut Prof San Afri, masa depan pengelolaan hutan di pulau Jawa tidak dapat hanya menyandarkan pada peran hutan negara. Hutan rakyat bagian dari pengisi landscape pulau Jawa harus dimasukkan dalam pengelolaan landscape hutan di Jawa.
"Hutan negara dalam model KHDPK salah satunya untuk memperbaiki potensi sumberdaya hutannya yang sekaligus memecahkan masalah sosial ekonomi rakyat yang miskin, kurang beruntung dan hidup di sekitar kawasan hutan negara. KHDPK harus di bangun dengan paradigma kemanusiaan dalam proses membangun hutannya," jelasnya.