JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com - Elektabilitas Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang tidak masksimal, mesti didongkrak. Apalagi bila Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) sepakat mengajukannya sebagai calon presiden pada 2024.
"Sebagai ketum, Airlangga punya basis pemilih partai yang cukup besar. Dari pemilu sebelumnya sekitar 12 persen," kata Direktur Riset SMRC Deni Irvani, Senin (22/8).
Namun, hal itu belum cukup untuk menjamin elektabilitas Airlangga menjadi kompetitif. Dalam survei yang digelar oleh SMRC, elektabilitas Airlangga disebut masih belum bersaing dengan kandidat lain.
"Padahal, posisi Airlangga sangat strategis. Yakni sebagai Ketum Golkar dan juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI," ujarnya.
Tren positif Airlangga yakni pada aspek kedikenalan yang mengalami peningkatan. Yaitu dari 26 persen (Maret 2021) menjadi 38 persen (Agustus 2022).
"Dari yang tahu, hanya 61 persen yang suka. Kedisukaan Airlangga ini meningkat dari 48 persen pada Maret 2022," tandasnya.
Didongkrak
Dengan aspek keterkenalan tokoh, Airlangga disebutkan masih dibawah 50 persen. Sehingga mesti didongkrak dengan komunikasi politik yang lebih intensif.
"Soal komunikasi politik, sosialisasi, disimpulkan belum efektif untuk menaikan elektabilitas. Awareness masih dibawah 50 persen," tegasnya.
Apa yang harus dilakukan, kata dia, sangat bervariasi. Mulai dari penggunaan medsos harus dievaluasi dan strategi komunikasi.
"Massa pemilih 'jaman now' begitu bervariasi. Dapat dijangkau dari berbagai outlet, mulai dari media massa populer maupun media sosial," paparnya.
Apalagi, para elit politik bersaing dalam memperebutkan perhatian masyarakat. Tidak ketinggalan mereka-mereka yang mengincar kursi presiden pada Pemilu 2024.
Seperti diketahui, Golkar berada dalam KIB bersama dengan Partai Persatuam Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Dimana Golkar sepakat memajukan Airlangga sebagai capres dari mereka.
Resmi
Namun sampai saat ini, belum ada pernyataan resmi tentang capres dan cawapres dari KIB. Banyak yang menyarankan, mereka bisa menggandeng sosok yang lebih tinggi elektabilitasnya, namun tidak memiliki jabatan di partai.
Hal itu perlu dilakukan ditengah rendahnya elektabilitas sejumlah elit parpol. Sementara itu, pengamat politik Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo menilai, rendahnya elektabilitas dan popularitas ketua parpol lebih disebabkan oleh faktor kekurangdekatan ketua parpol dengan rakyat.