JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com - koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dinilai mempunyai ikatan yang lebih kuat. Hal itu karena direkatkan dengan landasan programatis.
"Hal ini berbeda dibanding koalisi yang direkatkan dengan basis kandidat yang lebih rapuh," kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago di Jakarta, Kamis (8/12).
Menurutnya, koalisi semacam itu gampang drop-out. Sebab, basis koalisi tersebut bukan platform idelogi dan bukan tautan programatik.
"Akan tetapi koalisi soal kandidasi saja. Jadi basis koalisi ini rapuh sebetulnya," ujarnya.
Sementara, KIB yang terdiri atas partai Golkar, partai Amanat Nasional dan partai Persatuan Pembangunan, mempunyai visi-misi koalisi. Dimana terbingkai dalam Program Akselerasi Transformasi Ekonomi Nasional (PATEN).
"Program tersebut menjadi perekat antara partai anggota koalisi. KIB lebih memilih pendekatan program, dibanding pendekatan sosok nama capres," tandasnya.
Transaksional
Meski demikian, Pangi menilai KIB juga bertumpu pada pendekatan yang lebih transaksional dan pragmatis. Serta bisa menampung semua partai.
"Lem perekat koalisinya pendekatan transaksional dan pragmatis. Lebih ke match all party," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif IPRC Firman Manan mengatakan, awalnya KIB merupakan koalisi yang maju dengan program. Yakni sebelum menentukan capres mereka.
"KIB di awal mereka bicara platform sempat mengeluarkan manifes politik, program ekonomi (PATEN). Akan tetapi memang kelihatannya ada pergeseran, terutama pasca deklarasi Anies Baswedan dan kekuatan politik itu kembali fokus mencari kandidat," ungkapnya.
Di KIB, Golkar yang memiliki suara terbesar, sampai saat ini masih sepakat mengusung Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebagai capres. Sementara itu, KIB saat ini masih membangun komunikasi tentang capres dan tengah menunggu kedatangan anggota baru.
"Dalam sebuah koalisi, partai yang memiliki suara terbesar berpeluang untuk mengajukan capres mereka. Golkar tentu punya peluang besar," ucapnya.
Signifikan
Dalam kesempatan itu Firman mengingatkan, perlu dilihat, apakah partai yang bergabung memiliki suara signifikan atau tidak. Kalau suaranya signifikan, mungkin asumsi malah menambah capres baru.
"Tetapi kalau suara tidak signifikan, saya pikir tidak muncul nama baru," ucap Dosen Departemen Ilmu Politik Universitas Padjadjaran ini.