JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com, Wacana pelabelan galon plastik polikarbonat yang mengandung bahan kimia berbahaya Bisphenol A (BPA) mendapat pro kontra dari sejumlah pihak. Meskipun, kebijakan pemerintah untuk pelabelan kemasan galon BPA, bukan berarti pelarangan kemasan BPA seperti di luar negeri.
Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan semua pakar kesehatan dunia yang telah melakukan riset sepakat bahwa BPA sangat berbahaya bagi usia rentan, yaitu bayi, balita, dan janin pada ibu hamil. “Bahkan BPA dinyatakan sebagai polusi yang tak terlihat,” sebutnya beberapa waktu lalu.
Untuk diketahui, di tingkat internasional plastik BPA diregulasi sangat ketat dan dilarang di banyak negara maju. Uni Eropa sudah melarang penggunaan BPA sejak 2011, Kanada melarang kemasan BPA untuk anak dan orang dewasa pada 2017, negara bagian di Amerika Serikat juga sudah mengeluarkan larangan BPA untuk kemasan seperti California (2015), Connecticut (2014), Illinois (2014), Maryland (2014), Massachusetts (2014), Minnesota (2014), New York (2014), Washington (2014), termasuk juga Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Malaysia.
Menurut Arist, Komnas PA terus mengawasi kemasan mengandung BPA. “Salah satu bentuk kekerasan yang tak bisa dilihat, yaitu kekerasan dalam bentuk merampas kesehatan anak,” sebutnya.
Sejauh ini, di Indonesia sendiri market leader industri air minum dalam kemasan (AMDK) masih menolak pelabelan. Akibat pelabelan galon bekas pakai terus ditunda-tunda, maka tak terhindarkan lagi, puluhan juta orang Indonesia terus minum air dari kemasan galon BPA setiap hari, termasuk ibu hamil dan balita yang sangat rentan terhadap paparan bahaya senyawa kimia BPA.
“Dibiarkannya anak-anak, bayi, balita dan janin terus mengkonsumsi makanan dan minuman dari wadah atau kemasan yang mengandung BPA,” kata Arist dalam Diskusi Publik ‘Bebaskan Anak-anak Indonesia dari Kemasan BPA yang Berbahaya’, di Jakarta (26/1).
Menurut Arist, senyawa BPA tersebut banyak ditemukan di berbagai kemasan yang selama ini digunakan sehari-hari. Utamanya kemasan untuk menyeduh air susu dan wadah yang terbuat dari plastik, seperti galon bekas pakai yang oleh industri AMDK terus digunakan berulang-ulang untuk kemudian dijual lagi ke konsumen.
“Saya kira industri wajib hukumnya membuat peringatan itu (BPA),” kata Arist.
Arist menyayangkan beberapa kemasan plastik seperti galon bekas pakai yang belum mencantumkan label peringatan bahaya BPA.
“Saya lihat iklan yang ada saat ini tidak menyebutkan bahwa kemasannya sudah bebas dari BPA, padahal itu wajib hukumnya oleh industri. Kalau tidak ada iklan seperti itu, maka labelnya (peringatan BPA) harus ada di dalam kemasan plastik,” katanya.
Arist mengatakan, kemasan yang tidak dilabeli peringatan bahaya BPA dan dikonsumsi oleh anak-anak dan ibu-ibu, pastinya berbahaya. Itu sebabnya, dibutuhkan regulasi yang dapat mengatur label BPA pada pangan.
“Wajib hukumnya industri menggunakan label. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Perka BPOM) No 31 Tahun 2018 sudah disusun dengan persetujuan DPR, dan sudah diserahkan ke Setneg untuk mendapatkan persetujuan Presiden. Perka itu lahir sebagai regulasi untuk melindungi para ibu dan anak-anak dari bahaya BPA,” kata Arist.
Memanfaatkan Hari Gizi Nasional yang dirayakan pada 25 Januari 2023, Arist mengatakan Komnas PA sudah menulis surat terbuka kepada Presiden agar peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 tentang label pangan olahan segera ditandatangani.