Oleh Benke.
Jakarta.Suaramerdeka.com, — Hari ini, juga esok, kita akan terus disuguhi teater perebutan kuasa, yang membenarkan segala macam cara. Yang galib terjadi di sejumlah riwayat banyak perebutan tahta pada sebuah masa. Pepak dengan segala siasat, kedengkian, kelicikan, kebrutalan dan ribuan alasan pembenarnya. Begitu seterusnya.
Dari sini kita belajar, kekuasaan memang cenderung seenaknya. Di rezim mana saja. Kekuasaan adalah pendaku pemilik kebenaran satu-satunya.
Jauh sebelum Niccolò Machiavelli,
(1469-1527) menulis risalah politik The Prince di tahun 1500-an. Yang mendorong perilaku “tujuan membenarkan cara”, terutama di kalangan politisi. Sejumlah raja di Nusantara telah melakukan praktek tikung menelikung itu. Dengan tak kalah gilang gemilangnya.
Jika Anda sudah membaca buku Bre Redana berjudul Dia Gayatri (2020), di situ diceritakan perebutan kuasa berjalan dengan cara tak kalah sadisnya.
Bahkan dibarengi dengan laku madon yang tak kalah syurnya. Laku sex adalah bagian tak terpisahkan dari praktik kehidupan masyarakat Jawa, dan budaya mana saja.
Dengan meletakkan Ibu Suri Gayatri Rajapatni di tengah pusaran perebutan tahtanya. Dengan taktik siasat tak kalah hinanya.
Sebagaimana dilakukan seseorang Machiavellian yang dicitrakan dekat dengan kelicikan, kecerdikan, dan tidak memiliki kode moral. Demikianlah adab kebanyakan para politisi di negeri kita kiwari.
Dan semua laku politik penuh kebengisan berdarah dingin, itu semua sudah disaksikan Gayatri atau Rajapatni sebagai salah satu istri Raden Wijaya, raja pertama Majapahit (1293-1309), yang kemudian menurunkan raja-raja di selanjutnya di Nusantara .
Jadi, jangan heran jika sebuah partai di negeri ini dengan gampang berpindah tangan, sebelum dilegalisasi oleh negara, karena kekuasaan menghendakinya.
Ini persis dengan cerita ada gerombolan perampok mendatangi rumah Anda, untuk kemudian sertifikat rumah Anda malih nama atas nama perampoknya. Sebelum dilegalisir BPN karena Istana menghendakinya. Alangkah indahnya.
Jadi, karena lakon teaternya masih berlangsung, dan akan banyak kejutan, juga tikungan cerita. Mari kita saksikan saja lakon perebutan kuasa itu. Siapa tahu ada makna tersembunyi yang belum kita ketahui di sana, sebelum melahirkan lakon dan pahlawan sebenarnya. Siapa tahu?
Atau jangan-jangan tidak ada lakon atau protagonisnya di semua pihak. Tidak juga dari lingkungan kekuasaan cum istana, demikian juga diluar lingkaran kekuasaan.
Karena isinya maling semua. Republik Maling. Atau rampok semua. Republik Rampok. Yang sangat bisa jadi, bahkan membuat Gayatri juga Niccolò Machiavelli, geleng-geleng kepala dibuatnya. Wallahualam bissawab. (bb).
Artikel Terkait
Asli-Palsu dalam Seni Rupa
Kemu Ciu
Perayaan Balas Dendam