Oleh Benny Benke.
Jakarta.Suaramerdeka.com --
PRESIDEN Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau musik.
Dalam PP itu, disebutkan seseorang yang menggunakan lagu dan/atau musik secara komersial atau layanan publik wajib hukumnya membayar royalti.
Bahwa PP 56/2021 oleh beberapa kalangan, juga sejumlah guru besar, ditimbang menimbulkan persoalan baru, itu adalah bagian dari dialektika bernegara.
Karena kita yakin, Anda yakin, semua yakin, semua pihak mempunyai maksud dan muara yang sama; Demi dan untuk kemaslahatan pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu atau musik.
Apakah kenyataan mulia keberadaan PP 56/2021, itu benar-benar berbanding lurus, atau justru berbanding terbalik dengan kenyataan? Atau justru menjadi persoalan baru, sebagaimana dikawatirkan sejumlah persona menjadi benar adanya?
Seorang penggiat industri musik cum musisi berpendapat, materi muatan PP 56/2021 itu jelas-jelas bertentangan dengan materi muatan UU Hak Cipta 28/2014. Menurutnya, seharusnya PP 56/2021 ini menjadi peraturan pelaksana, bukan malah seolah menjadi UU baru, yang saling bertabrakan .
Karena UU Hak Cipta 28/2014 itu tidak mengatur tentang hak atribusi.
Hak atribusi itu adanya di Permen 36/2018, dan telah dicabut dan diperbarui dengan Permen 20/2021. Yang menurutnya bukan menyelesaikan masalah, tapi malah menimbulkan masalah baru, dengan dapat bekerjasama dengan pihak ketiga.
Yang pasti dalam PP 56 tahun 2021 diatur bahwa Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) ditunjuk sebagai pihak untuk menghimpun royalti.
Artikel Terkait
Cak Nun, Najwa Shihab dan Bully Puisi
Soekarno Sungkawa