Oleh Benny Benke.
JAKARTA, Jakarta.Suaramerdeka.com,-
Masih banyak pertanyaan yang belum menemu jawabnya dalam obrolan Royalti Musik, Mau Ribut Terus? Yang digagas Lesehan Musik, pada Jumat (8/10/2021) malam.
Meski demikian, dalam obrolan warung kopi marathon dari pukul 20.00 hingga 00.05 WIB, via aplikasi @Clubhouse, itu kebenaran secara pelan dan pasti akan, dan mulai menemu rumahnya.
Untungnya, semua pembicara dan pesertanya, sama-sama mengusung semangat keterbukaan. Dan penghormatan antarsesama. Walau tentu saja, atas nama apapun, diakui atau tidak, tetap ada indikasi, atau terasa masih ada informasi yang masih disembunyikan atas nama apa saja.
Tapi tidak mengapa. Hanya masalah waktu, persoalan Royalti atas hak cipta lagu dan musik, sesuai yang diatur dalam PP 56/2021. Yang mengatakan, setiap orang yang menggunakan lagu atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial, harus membayar royalti melalui LMKN.
Yang ditimbang tidak atau belum memberikan efek yang signifikan kepada pemilik hak cipta lagu dan musik, akan benar-benar memberikan kemaslahatan kepada yang paling berhak menerima.
Meski untuk saat ini, sebagaimana diakui sendiri dengan jujur oleh Adi Adrian, anggota Komisioner LMKN jilid 2, penanganan distribusi juga collecting royalty, belum berjalan di rel yang sepatutnya. Masih ada proses panjang menuju titik ideal di sana. Dan itu membutuhkan waktu, dan kesabaran semua pihak.
Atau dalam bahasa salah satu motor KLa Project, itu masih banyak pertanyaan atas pola kerja dan kinerja LMKN, juga UU-nya, demi mewujudkan cita-cita mulia, mendudukkan pemilik hak cipta lagu dan musik di bagian pertama dan utama.
Juga posisi mitra kerja LMKN, yaitu LMK dan pihak ketiga, dalam hal ini PT. Lentera Abadi Solutama (LAS).
Ihwal keberadaan LMK menjadi rahasia umum, mengada bahkan jauh sebelum LMKN ada dan diadakan oleh negara, dalam hal ini Kemenkumham RI. LMKN diadakan karena kinerja LMK dinilai tidak seperti yang diharapkan. Salah satunya, terlalu banyak pintu. Sehingga membingungkan user atau pengguna. Maka dibuatlah lembaga non budgeter satu pintu bernama LMKN.
Kiwari, tujuh lembaga manajemen kolektif (LMK) sebagai pemegang kuasa dari para pemilik Hak Atas Royalti Hak Cipta dan Hak Terkait telah menemui Direktur Kekayaan Intelektual Dr. Freddy Harris, SH, LL.M, ACCS. Dengan maksud mengajukan Perubahan PP 56/2021, tentang royalti musik/lagu.
PP yang ditimbang mengamputasi kewenangan LMK itu, dimohonkan untuk dilaraskan, sehingga ke depan, diharapkan posisi LMK dan LMKN dapat bersinergi dengan "duduk sama rendah, berdiri sama tinggi," demikian kurang lebih.
Meski pemerintahan sudah mengatakan, tidak akan banyak turut campur dalam hal pengaturan maupun pelaksanaan kolekting dan distribusi.
Ihwal pelaksanaan kolekting dan distribusi inilah yang menjadi concern majelis Lesmus.
Artikel Terkait
Royalti Lagu dan Musik Milik Siapa?
LMKN Tidak Ada Gunanya?