Oleh Benny Benke
JAKARTA, Jakarta.Suaramerdeka.com,-
Sejak kapan santri dapat malih rupa menjadi celeng (babi hutan, Sus scrofa Linnaeus) ? Sejak fitnah ditebar kompeni, kepada para santri, yang mengatakan jika guru mereka, para kyai yang dihormati, itu tak lebih dari sekedar keparat, yang akan mati dan malih rupa menjadi celeng, karena berani melawan kebijakan kompeni di Tanah Jawa.
Atau dalam buku puisi Santri Celeng (Cetakan Pertama 2021, Penerbit BoengaKetjil) yang ditulis Binhad Nurrohmat, cerita Santri Celeng terjadi di Batang, Jawa Tengah, menjadi muasal kisah Santri Celeng.
Kutipan lengkapnya; "Di abad ke-19, kekejaman pemerintah Kolonial Belanda makin tak terperi. Tak heran jika sebagian besar Jawa bermunculan protes dari para petani. Protes para petani di Jawa pada masa itu disebabkan monopoli pemerintah Kolonial Belanda di semua sektor. Amarah rakyat meledak lewat gerakan.
Baca Juga: Tujuan dan Perjalanan
"Salah satunya gerakan yang dipimpin KH. Ahmad Rifa’i di desa Kalisalak, Batang, pesisir utara Jawa Tengah. Kiai Rifa’i bersama simpatisan yang kemudian disebut Rifa’iyah sangat gigih melawan (Kompeni) Belanda.
"Kompeni tentu sangat khawatir terhadap pergolakan tersebut karena cukup mengganggu stabilitas politik di Jawa pada masa itu. Kata ‘kompeni’ sendiri berasal dari salah ucap orang Indonesia ketika melafalkan kongsi dagang Belanda Vereenigde Oostindischte Conpagnie (VOC).
"Masyarakat lebih banyak mengingat baris terakhir, yakni Conpagnie. Kemudian untuk mengantisipasi gerakan petani, kompeni menangkap dan mengasingkan KH Ahmad Rifa’i. Tapi ajaran Kiai Rifa’i tak bisa dibendung.
"Murid-murid Kiai Rifa’i tetap meneruskan perjuangan sekaligus melakukan penyebaran agama Islam melalui Kitab Tarjumah atau terjemahan karya KH. Ahmad Rifa’i Ajaran Kiai Rifa’i bercorak tasawuf yang memiliki ciri khas tersendiri.
Artikel Terkait
Royalti Lagu dan Musik Milik Siapa?
Mendadak PT LAS
PT LAS, Di Bawah Lindungan Istana?