Oleh Benny Benke
Jakarta.Suaramerdeka.com, - Basa Basuki, penyair dari Semarang pada tahun 90-an sohor dengan petilan sajaknya, berbunyi; // di negeri demokrasi, kenapa puisi musti ditakuti, kata~kata bukanlah senjata, untuk membunuh penguasa// (Sajak Elang).
Merujuk pada gentarnya rezim Orba, pada semua jenis ketidakpuasan yang disuarakan masyarakat Indonesia, juga lewat puisi, atas kesewenangan dan penindasannya.
Hampir di segala bidang kehidupan. Juga ketakutan pada sejumlah puisi pamflet yang marak saat itu.
Seperti puisi pamflet bercita rasa jargon yang paling dikenal saat itu (hingga kini dan nanti), milik penyair asal Solo, Widji Thukul, berjudul "Peringatan"; //Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/ Dituduh subversif dan mengganggu keamanan/Maka hanya ada satu kata: lawan!//.
Baca Juga: Kerapuhan, dan Ketabahan
Bagaimana dengan rezim sekarang? Apakah puisi masih ditakuti di rezim ini? Meski isinya berniat mengingatkan dalam semangat kebaikan dan kesabaran sekalipun?
Apakah penyair masih mempunyai nyali bersemuka dengan kekuasaan? Yang dipastikan akan menang dengan cara apa saja, jika berperkara dengan rakyatnya.
Bisa ya bisa tidak jawabnya. Karena di rezim ini, diakui atau tidak, sampah demokrasinya, berujud pendengung yang telah malih rupa serupa mahluk tak tersentuh hukum. Bersiap menerkam siapa saja. Yang berseberangan dengan tuan dan puan kekuasaan. Tanpa terkecuali.
Artikel Terkait
Cak Nun, Najwa Shihab dan Bully Puisi
Remy Sylado dan Joko Pinurbo Lelang Puisi