Oleh Benny Benke
Jakarta.Suaramerdeka.com, - Di sini terbaring seorang pasifis, ideolog, pemikir dan sastrawan yang tingkah laku, pikiran dan lafalnya laras. Karyanya menembus batas bahasa, masuk ke relung paling lubuk hati pembacanya.
Yang mengajarkan penerimaan dan permaafan, mengatasi dendam paling kesumat dan purba anak manusia.
Jauh sebelum Orwell mengajarkan tentang arti penerimaan, Leo Tolstoy sudah menjadi guru ngaji ihwal arti kerelaan, ketulusan, keikhlasan, dan keridhaan.
Baca Juga: Kerapuhan, dan Ketabahan
Maqom cerita yang ditulisnya, berada di langit sana. Makanya, tidak heran seringkali dia digelari serupa nabi. Karena saking suhud-nya. Sebab gemar berbagi ilmu, wawasan, dan kebesaran hati seperti para nabi.
Di sini, di Yasnaya Polyana, sepelemparan batu dari Tula Oblast, 200 km dari Moskwa, di pesarean pribadi keluarga, kebesaran Tuan Tolstoy tak akan pernah binasa.
Tanpa seorang pun bersaksi atas kebesaran Tuan, sejarah akan terus mencatat keagungan riwayat Tuan.
"Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu". Demikian salah satu dari berbilang judul cerpen Tuan yang bercerita dengan luar biasa.
Artikel Terkait
Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu