Surat itu pada intinya menyatakan sejak tanggal 1 Maret 2022 kartu BPJS Kesehatan menjadi syarat permohonan pelayanan jual beli tanah.
Banyak Masalah
Banyak masalah dari ketentuan kewajiban yang mensyaratkan dalam jual beli tanah warga Indonesia wajib memilik kartu BPJS Kesehatan.
Pertama, hal ini menjadi beban tambahan bagi para notaris. Selama ini selain diwajibkan memeriksa soal pajak para penjual dan pembeli tanah, notaris juga sudah diisyaratkan untuk ikut membantu PPATK menelusuri asal muasal duit untuk jual beli tanah.
Sekarang tambah lagi dengan pekerjaan untuk mengecek keaslian kartu BPJS Kesehatan beserta kewajiban pelunasannya. Kalau notaris “kecolongan” kartu BPJS Kesehatannya bodong atau belum dibayar, tetapi transaksi jual beli tanahnya disahkan, maka notaris harus ikut bertanggung jawab.
Dan itu hukumannya nanti bisa saja berlaku hukum pidana. Berarti kalau notaris teledor, siap-siap bakal dapat sanksi. Jadi, hanya menambah kerjaan notaris saja.
Kedua, kalau seluruh anak bangsa untuk seluruh penyakit, dari yang ringat seperti flue sampai yang berat operasi tingkat 4, seluruhnya memakai BPJS Kesehatan, perlu dipertimbangkan apakah kapasitas rumah sakitnyan sudah memadai.
Sekarang aja para pemakai BPJS Kesehatan untuk menunggu dapat no antrian pemeriksaan pada waktunya, sudah harus antri dari subuh, dan sering baru sore dapat giliran.
Itu pun tindakan operasinya rata-rata baru dapat terlaksana dua minggu atau sebulan kemudian, lantaran penuh. Bagaimana kalau seluruh strata masyarakat tiba-tiba untuk seluruh jenis penyakit yang dimungkinkan okeh BPJS Kesehatan memakai BPJS Kesehatan?
Pastilah rumah sakit kewalahan. Pelayananpun otomatis bakal menurun.
Di sisi lain, sudah hampir dipastikan kaum “the have” walaupun punya kartu BPJS Kesehatan tidak akan mempergunakannya, dan lebih memilih jalur private, bahkan kalau perlu memilih perawatan VIP.
Artikel Terkait
Profesi Advokat