Oleh Dimas Supriyanto Martosuwito
Jakarta.Suaramerdeka.com,- Sepulang dari Solo, di meja makan rumah, tersedia bungkusan paket buku. Saya menduga itu buku kumpulan puisi kriman Benny Benke, yang telah dikabarkan sebelumnya melalui WA. Setelah saya buka, memang benar adanya.
Saya senang setiap kali menerima kiriman dan hadiah buku. Banyak yang menertawakan saya karena masih membaca buku cetak/fisik. Putri saya sudah lama "hijrah" ke PDF dan langganan Kindle Book.
Mata saya tak kuat lama lama membaca tulisan di hape dan laptop, terutama untuk buku yang tulisan yang panjang panjang.
Kecuali tulisan saya sendiri, karena saya memang narsis. Parah narsisnya.
SEBAGAI jurnalis saya banyak belajar pada siapa saja, baik kepada para pendahulu - buku buku tulisan profesor, sesepuh jurnalis, kolega seumuran - maupun junior. Dalam hal ini, Benny Benke adalah junior saya.
Dia bergabung di media Jateng ‘Suara Merdeka’ baru pada tahun 2001, sedangkan saya sudah sejak 1984.
Tapi, Benny Benke, telah melampaui saya dalam banyak hal. Lulusan Fak Sastra Undip Semarang (1999) ini sudah ke Russia, mengajar di sana, dia membuat film dokumenter dan memenangi Piala FFI dan menjadi koordinator juri di Festival Film Wartawan.
Dia pengalaman meliput festival film di Berlin, di Tokyo, di Cannes - Prancis yang setara dengan "ibadah haji besar" bagi orang film di seantero dunia. Saya sudah dua kali ke sana.
Menimbang catatan itu, rasa-rasanya saya jadi mengkerut.
Sejujurnya saya menunggu penerbitan kumpulan esainya. Saya sangat menyukai esai esai Benny Benke, yang kedap dan menukik dan kaya kosakatanya. Selain itu, saya kurang pandai menikmati puisi - kecuali puisi pamflet ala WS Rendra, Bang Tardji; Sutardji Calzoum Bachri atau puisi bernuansa prosa liris dan esai jurnalistik.
Catatan dari Bre Redana (xiii) yang mengaku "gamang" memberi pengantar, menunjukkan saya tak sendirian. Tapi sebagaimana dituturkan Mas Bre, senior saya pensiunan koran 'Kompas' itu, Benny banyak menulis reportase dalam puisinya ini.
Daya tarik buku bukan hanya reportase pusinya, melainkan kata pengantar dari Triyanto Tiwikromo dan Bre Redana, jurnalis yang juga eseis dan novelis, selain juga sastrawan Doddi Ahmad Fauji.
SAYA sangat menikmati kumpulan, eh, himpunan puisi Benny Benke. Menambah pengetahuan dan menambah kekayaan kosa kata, yang penting bagi jurnalis.
Artikel Terkait
Di Negeri Demokrasi Puisi (masih) Ditakuti (?)
Melalui Puisi Sangkan Paraning Dumadi
Sutardji Calzoum Bachri; Puisi Benny Benke Prosaik, Layak Direnungkan
Penggenapan Diri Benny Benke
Perihal Pengheningan Puisi
Novel Mari Menari Karya Benny Benke Diterbitkan Relasi Inti Media