Dicari solusi. Samudra ditawarkan menjadi salah satu direktur saja, tapi yang bersangkutan menolak. Alasannya, dari tes dia sudah layak menjadi dirut.
Solusi lain, pemerintah lantas menawarinya jabatan duta besar, kala itu untuk Jepang. Lagi-lagi Samudra menolak.
“Karier gue di penerbangan, bukan di bidang diplomat,” katanya memberikan alasan.
Jadi? Berdasarkan data objektif, para pejabat di lingkungan kantor pemegang saham alias kantor adiknya, Laksamana, kabarnya sudah sulit menolak pengangkatan Samudra.
Kabarnya pula para petinggi lain juga sudah setuju. Ibaratnya tinggal teken saja.
Sebaliknya saya, sang adik, termasuk yang tetap tidak setuju.”Biar bagaimana pun, perkembangan sosial politik Indonesia saat ini, masih sulit untuk menerima ada adik mengangkat kakaknya sendiri sebagai pejabat di lingkungan otoritas kekuasaannya,” kata saya.
“Tapi kan gue kan udah memenuhi semua syarat. Secara objektif juga udah diuji, gue nomer satu,” jawab Samudra.
“Sosiologis negara kita aneh. Kalo loe diangkat jadi dirut, kita bakalan jadi sasaran “tembak. “ Dan keluarga kita bakalan terus menerus jadi pergunjingan. Bener aja, kita terus “ditembakin,” apalagi kalo loe nanti mungkin ada salah. Kita bakalan dihajar habis-habisaan, bukan hanya loe pribadi, tapi juga semua keluarga kita,” tangkis saya.
Terjadilah debat yang “panas” di keluarga kami ikhwal ini. Berbagai aspek dan sudut pandang mengemukan dalam arena argumentasi itu.
Akhirnya, sejarah membuktikan, Samudra tak pernah diangkat jadi direktur utama Garuda. Diangkatlah nama lain sebagai direktur utama Garuda.
Bagaimana proses pengambilan keputusannya pada “tingkat atas,” saya sama sekali tidak faham, karena bukan wilayah saya, dan saya tidak boleh ikut campur sama sekali.
Samudra tentu sangat kecewa. Dia merasa dizholimi. Dia mengadu ke Komnas HAM karena merasa hak-hak asasi tertindas. Sebagai “perlawanan” dia juga membuat buku khusus yang membahas soal ini. Kekecewaan dan kesedihan yang masuk akal.
Artikel Terkait
Profesi Advokat
Membeli Rumah Baru
Api Merah Menyala dari Matanya