Oleh Wina Armada Sukardi
Cuplikan Kisah Human Interest (14)
JAKARTA, Jakarta.Suaramerdeka.com,- Sebelum pandemi covid-19, keluarga kami rutin mengadakan santunan dan doa bersama para anak yatim. Bisa di rumah, bisa di mesjid, terkadang pula tempat lain yang memungkinkan. Setiap ada momentum, seperti sunatan, awal mulai pelajaran baru,
Jelang puasa, anak diterima kerja di tempat baru dan sebagainya dan sebaginya, kami mengadakan sedekah menyantuni dan doa bersama anak yatim-piatu.
Jumlahnya berkisar antara 50 - 75 orang. Usia anak yatim-piatunya berentang jauh, dari bayi sampai murid SMA. Terkadang kami juga membatasi “hanya anak SD” atau penggolongan tertentu.
Mereka berasal anak-anak yatim-piatu di sekitar lingkungan RT,RW dan kelurahan rumah kami. Mereka dapat saja anak-anak tetangga yang kami tak kenal, dapat juga dari anak-anak jemaah mesjid dekat rumah, atau dapat pula dari rumah yatim piatu tertentu.
Darimana sajalah asalnya. Tidak memandang berasal dari suku mana, tidak membedakan jender, dan bahkan sebenarnya tidak pula membedakan dari agama manapun, meski dalam kenyataannya hampir semuanya anak-anak muslim.
Ini bukan karena diskriminasi, tapi sering kali anak-anak yatim- piatu dari agama lain sudah ditangani oleh pengurus agamanya masing-masing.
Lantaran sudah bertahun-tahun mengadakan hal itu, banyak di antara mereka kiwari sudah dewasa. Sudah ada yang kuliah, bahkan mungkin telah ada yang sudah punya anak. Kami tak pernah hafal siapa mereka, kecuali satu dua orang aja, itupun karena mereka sendiri yang menerangkan.
“Saya kan yang pernah ikut satunan di rumah Bapak-ibu,” kata seorang anak remaja perempuan, anak penjual gado-gado tak jauh dari rumah, ketika beberapa tahun silam kami membeli gado-gadonya. Wah, udah gede juga pikir kami.
Kalau diselenggarakan di rumah, kehadiran anak-anak itu tidak kami perlakukan sebagai pelengkap penyerta saja. Mereka kami sambut sebagai tetamu istimewa. Makan bersama-sama dan kalau pas diselenggarakan bersamaan dengan acara lain, mereka bergaul dengan sesama tamu lainnya.
Jika kami ada uang lebih, sekali-dua kali bahkan mereka masing-masing dilayani oleh waiter khusus. Itulah sebuah penghormatan kami kepada mereka.
Kami menyatuni dan melakukan doa anak yatin-piatu, tak selalu dalam keadaan ekonomi berlebih. Beberapa kali bahkan manakala keuangan kami sedang pas-pasan. Herannya pasca acara itu rejeki kami malah lebih mengalir deras.
Pernah kami sudah merencanakan memberi santunan anak yatim, sekitar 50 orang. Tiap anak dapat Rp 200 ribu dan diterima dalam amplop. Selain itu mereka pulangnya disediakan berkat besek atau boks makanan untuk dibawa. Di rumah sendiri mereka kami ajak makan. Kurang lebih biaya totalnya kisaran Rp 20 jutaanlah.
Artikel Terkait
Profesi Advokat
Membeli Rumah Baru
Api Merah Menyala dari Matanya