Dengan membaca puisi-puisi TSS saya membayangkan mengikuti perjalanan hidup dan pengalaman bathin penyairnya ketika mencoba menterjemahkan bahasa cinta yang dilihat, didengar, dirasakan dan dialaminya.
(2)
Erich Fromm filsuf yang ditasbihkan sebagai “nabi”-nya para pecinta, dalam bukunya “Seni Mencintai” yang diterbitkan tahun 1956 menulis bahwa cinta bukanlah sebuah perasaan yang dapat dengan mudah dinikmati siapa saja, terlepas dari tingkat kedewasaan yang telah dicapainya.
Segala upaya seseorang untuk cinta pasti gagal, kecuali jika dia berusaha keras mengembangkan kepribadian total, untuk meraih suatu orientasi produktif; bahwa kepuasan dalam cinta individu tak dapat diperoleh tanpa adanya kapasitas untuk mencintai sesamanya, tanpa kerendahan hati, keberanian, keyakinan dan disiplin yang nyata (Erich Fromm, Seni Mencintai, Penerbit Basabasi, 2008).
Singkatnya seni mencintai adalah pencapaian yang langka yang membutuhkan pengetahuan dan upaya yang keras.
Lebih lanjut filsuf yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh psikoanalisa itu menggolongkan obyek-obyek cinta menjadi lima. Yaitu cinta persahabatan, cinta keibuan, cinta erotis, cinta diri dan cinta tuhan.
Apakah TSS lewat puisi-puisinya yang termaktub dalam KDT ini mampu menjawab tantangan Erich Fromm bahwa menerjemahkan dan menjalani cinta? Mari kita lanjutkan pembahasan ini.
KDT berisi 84 puisi yang sebagain besar (atau seluruhnya?) bertema cinta dengan segala problematikanya: cemas, harap, rindu, luka dan tentu bahagia.
Bahkan dari judul-judulnya saja sudah bisa diraba tema dan makna puisi-puisi tersebut. Seperti “langgam merindu-rindu Hati yang luka” (puisi ke-5), “aku Datang, kekasih” (puisi ke-15), “cinta” (puisi ke-22), “dua sajak untuk satu Perempuan” (puisi ke-30), “surat Cinta-surat Cinta” (puisi ke-43), “padahal ingin sungguh memanggil Pulang cintamu” (puisi ke-62) dan puisi ke 79 yang berjudul “biarlah kukisahkan kepadamu mengenai Rindu”.
Sebagai contoh mari kita periksa puisi yang berjudul Cinta.
Cinta
ia Bukan jika kerna mata
sebab mata gampang terpedaya
ia Bukan jika masih bisa terutara
sebab kata hanya gema yang fana
ia Bukan
kecuali terhadapnya kau hanya bisa Ya
meski mungkin Tidak selamanya
Dalam puisi ini TSS mendefiniskan cinta dalam kalimat negative: itu bukan cinta bila penyebabnya mata (cantik, putih, seksi dan seterusnya yang bersifat fisik dan bisa dilihat dengan mata) karena mata gampang terpedaya.
Dan itu juga bukan cinta jika masih bisa dikatakan, karena seperti mata, kata-kata juga bisa menipu (rayuan gombal) dan hanya gema yang fana. Sesuatu itu bisa disebut cinta bila kau hanya bisa ya (mungkin maksudnya tidak cuma berkata ya atau mengiyakan) dalam arti menerima sepenuh seluruh. Apa adanya.
Puisi tersebut ditutup dengan kalimat kunci: meski mungkin Tidak selamanya (KDT halaman 46).
Artikel Terkait
Penyair Dungu
Sutardji Calzoum Bachri; Puisi Benny Benke Prosaik, Layak Direnungkan
Penggenapan Diri Benny Benke
Novel Mari Menari Karya Benny Benke Diterbitkan Relasi Inti Media