Para wartawan tidak dapat berdalih dengan adanya “fire wall” atau dinding api yang memisahkan ruang redaksi dan ruang usaha, tak mau ambil peduli terhadap gejala ini. Wartawan juga harus memiliki kepekaan soal, terutama di medianya sendiri.
Para wartawan harus memberikan konstribusi untuk mengurangi, bahkan menghilangkan iklan porno seperti ini.
Bukan sebaliknya, dengan dalih iklan-iklan bejad itu memberikan pemasukan buat perusahaan yang mengaji mereka, para wartawan malah mendukung kehadiran iklan-iklan ini.
Jika sebagaian besar wartawan telah menganut pandangan mendukung iklan cabul, tak diragukan lagi telah terjadi degradasi moral di lingkungan wartawan.
Disini kita layak bertanya, bagaimana pers mau mebanati membereskan persoalan-persoalan moralitas dalam masyarakat umum, kalau dalam tubuh diri pers sendiri telah internelazed atau pandangan ajeg yang mendukung iklan meseum dalam media mereka sendiri.
Tentu cari duit atau cuan untuk survive bukan saja boleh, tapi juga malah harus. Kendati demikian itu tidak bermakn boleh menghalalkan segala cara, termasuk menerima iklan-iklan cabul.
Pidana Denda
Selanjutnya, mengingat dahsyatnya sampak iklan porno itu terhadap masyarakat luas, lebih khusus kepada generasi muda, pers online yang masih melangar Pasal 13 harus segera dikenakan pidana denda sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU Pers.
Pelaksanaan atau law enforcement dari pasal ini sesuai dengan mekanisme perundang-undangan yang belaku. Misalnya, walaupun iklan semacam ini bukan produk jurnalistik, polisi setelah mendengar Dewan Pers, polisi dapat melakukan upaya baik preventif maupun represif bagi yang bandel.
Begitu pula sudah saatnya Dewan Pers (yang kebetulan anggota baru) mengambil berbagai langkah untuk menanggulangi persoalan ini melalui penelitian, pengembangan dan komunikasi dengan pihak masyarakat dan pemerintah, sebagaimana menjadi tugas pokok Dewan Pera yang diatur dalam Pasal 15 UU Pers.
Artikel Terkait
Profesi Advokat
Membeli Rumah Baru
Sengkuni