Persahabatan dan Kewajaran

- Selasa, 16 Agustus 2022 | 06:28 WIB
Benny Benke (Doc Pribadi)
Benny Benke (Doc Pribadi)

Oleh Benny Benke.

JAKARTA, Jakarta.Suaramerdeka.com,- Jika persahabatan harus didasarkan pada kebijaksanaan daripada pada hubungan darah, kata socrates, maka persahabatan yang ideal adalah antara orang-orang yang bijaksana, atau yang setidaknya berikhtiar mencari kebijaksanaan.

Makanya kemudian ada yang mengatakan, persahabatan adalah komponen penting dari kehidupan yang ideal. Karena dalam persahabatan, lahir dan menyukai hal-hal yang menyenangkan, dan baik, atau menyenangkan dan berguna.

Dari sini, definisi persahabatan sebagai orang-orang yang "harus saling diakui sebagai pembawa niat baik dan berharap baik satu sama lain", terpenuhi.

Karenanya, ada yang meyakini, persahabatan adalah kata lain dari Cinta. Dan hadiah terbesar dalam hidup adalah persahabatan. Karena ada Cinta di sana. Bukan sebaliknya, malah saling menghasilkan toxic.

Makanya, carilah tempat di mana kita sebagai persona dihargai, bukan semata dibutuhkan. Karena dalam persahabatan, ada terma saling menghargai. Derajad menghargai dan membutuhkan tentu sangat berbeda sekali.

Kalau ada persona yang mendaku sebagai sahabat, tapi tidak menghargai kita sebagai persona. Malah hanya jelma pada saat membutuhkan kita. Lalu, mengeksploitasi dan membelokkan makna persahabatan sedemikian rupa, abaikan saja dia. Nihilkan keberadaannya.

Manusia seperti itu tidak ada faedahnya. Maqomnya berhenti pada taraf tak berguna. Merasa paling besar, benar, guna dan ngerti, padahal sejatinya bukan siapa-siapa. narsistik semata.

Hanya masalah waktu, persona macam ini, akan jatuh dengan sendirinya. Dirobohkan oleh dirinya sendiri. Sudah terlalu banyak contohnya.

Pribadi semacam ini, tidak laik untuk disapa sebagai sahabat. Yang seyogyanya dapat dibutuhkan hati setiap saat.

Tapi hebatnya, manusia tak berguna seperti ini, ternyata tetap mendatangkan manfaat. Meski menciptakan pengalaman negatif. Karena, dipercaya, barang siapa mampu menerima pengalaman negatif, dia akan mendapatkan pengalaman positif.

Sebaliknya, barangsiapa menginginkan pengalaman positif, sejatinya, dipercaya akan mendapatkan pengalaman negatif.

Mengapa bisa demikian? Itulah yang dikatakan oleh filsuf Alan Watts sebagai "hukum mundur".

Yang menerangkan, semakin kita sangat ingin menjadi kaya. Semakin merasa miskin kita. Semakin kita sangat ingin menjadi seksi dan diinginkan, semakin jelek kita melihat diri sendiri, terlepas dari penampilan fisik kita yang sebenarnya. Demikian seterusnya.

Halaman:

Editor: Budi Nugraha

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Membangun Empati Pada Keselamatan Lalulintas

Minggu, 26 Maret 2023 | 03:45 WIB

Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh (1)

Kamis, 23 Maret 2023 | 07:50 WIB

Duo Plate dalam Pusaran Korupsi BAKTI Kominfo

Rabu, 15 Maret 2023 | 00:32 WIB

Tantangan Besar Erick Thohir

Kamis, 9 Maret 2023 | 15:32 WIB

Mari Kita Ubah, Sebelum Kita Diubah Bangsa Lain!

Kamis, 9 Maret 2023 | 06:46 WIB

Pemilu 2024 Harus Tetap Digelar Tepat Waktu

Selasa, 7 Maret 2023 | 23:09 WIB

Erick Thohir dalam Bayang-bayang Mpu Gandring

Senin, 6 Maret 2023 | 23:43 WIB
X