Akhir April 1994, bersamaan dengan penyelenggaraan pemilu di Afrika Selatan yang memenangkan Nelson Mandela, saya bertemu lagi dengan Thukul di sebuah aula di gedung bahasa di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Ia menjadi salah satu pembicara dalam forum yang dihadiri para mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia tersebut—sebuah forum yang di akhir hari menyepakati pembentukan Persatuan Rakyat Demokratik, organisasi yang merupakan cikal bakal Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Selain Thukul, intelektual Vedi R Haditz yang saat itu merupakan satu dari sedikit intelektual di Indonesia yang sangat tajam analisisnya tentang gerakan buruh juga hadir. Pembicara lainnya adalah seorang sarjana sejarah berambut gondrong yang gemar mengenakan kaos oblong berwana putih, dan dipuja secara diam-diam maupun terang-terangan oleh para aktivis mahasiswi.
Kelak, ia akan memimpin sebuah direktorat kebudayaan, tujuh belas tahun setelah tumbangnya Soeharto.
Setelah hari itu, perjumpaan saya dengan Thukul makin sering. Rumahnya kerap dijadikan tempat koordinasi mahasiswa, buruh, petani, maupun seniman dari berbagai kota untuk mendorong pembentukan organisasi nasional berbasis sektor guna memangkas sektarianisme wilayah.
Maka munculah kemudian Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID), Serikat Tani Nasional (STN), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), dan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker)—organ-organ onderbouw PRD. Thukul diminta memimpin Jakker, sementara saya bergabung dengan SMID Semarang yang sebelumnya bernama Solidaritas Mahasiswa Semarang.
Aksi-aksi massa berskala besar, baik lingkup sektoral maupun aliansi antarsektor di masing-masing wilayah dilakukan untuk menguji kerja pengorganisiran para aktivis, sekaligus membangun soliditas organisasi.
Di Ngawi, kota kecil di Jawa Timur dimana saya lahir dan menghabiskan masa kecil, pada 10 November 1994 para mahasiswa yang tergabung di SMID bergabung dalam aksi petani yang diorganisir oleh para aktivis STN. Saya tak akan pernah melupakan hari itu.
Bapak saya, seorang pensiunan jawatan koperasi berusia 73 tahun, yang mengagumi Sukarno tapi terpaksa memilih Golkar sepanjang pemilu Orde Baru, mengendarai motornya ke alun-alun, untuk menyaksikan unjuk rasa tersebut.
Ia sulit percaya bahwa para mahasiswa bisa membuat petani bergerak dan berunjuk rasa di depan kantor bupati guna menuntut hak atas tanah mereka. Hari itu, dua mahasiswa ditangkap, dan beberapa tetangga di rumah mulai bergosip bahwa para petani tersebut telah disusupi komunis.
Artikel Terkait
Bohong
Tumbal
Omerta
Ferdy Sambo dan Wajah Kepolisian Kita
Ferdy Sambo dan Kekuasaan.