Oleh Ready Susanto, editor dan penulis
Mewakili Penerbit Pustaka Utama Grafiti sebagai penerbit undangan, penulis bersama Eko Endarmoko, berkesempatan hadir di Pameran Buku Frankfurt ke-48 pada 2-7 Oktober 1996. Berikut ini adalah catatan perjalanan penulis yang sudah diterbitkan dalam buku Buah Tangan dari Frankfurt: Sejumlah Kenangan dan Catatan tentang Dunia Perbukuan (Penerbit Matakamera, 2020).
Bandara Frankfurt masih kelam pada 30 Oktober 1996, matahari masih agak lama akan menyingsing, namun kesibukan sudah demikian terasa. Lampu-lampu di landasan tampak suram dalam udara dingin musim gugur saat pesawat Lufthansa LH 779 Jakarta-Frankfurt itu menjejakkan roda di landasan. Setelah lelah duduk sekitar enam belasan jam dalam pesawat, hari baru kami—saya dan Mas Eko Endarmoko (selanjutnya disebut Mas Moko)—agaknya akan menarik untuk dijalani.
Baca Juga: Pameran Buku Frankfurt ke-74 Siap Digelar
Ketika kami keluar dari pintu pesawat sambil meregang otot-otot tubuh, hari baru itu tampaknya belum mulai di Bandara Frankfurt. Para penumpang transit tampak menunggu di beberapa tempat duduk, beberapa tertidur. Tetapi di loket imigrasi orang telah ramai mengantre. Saya dan Mas Moko segera masuk ke salah satu antrean, berbaur dengan orang-orang dari pelbagai bangsa Eropa, Asia, dan Afrika. Beberapa orang Indonesia yang sepesawat dengan kami juga tampak dalam antrean.
Petugas imigrasi yang tampak masih sangat muda dan tanpa senyum menerima paspor saya dan meneliti sekilas, lalu bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan standar: “untuk keperluan apa berada di Frankfurt”, “berapa lama”, “atas biaya siapa”, dan pertanyaan-pertanyaan sejenis itu. Semuanya segera beres ketika saya mengeluarkan surat undangan dari penyelenggara Frankfurt Book Fair (FBF) atau Frankfurter Buchmesse (FB).
Tampak sekali ada kekhawatiran akan kedatangan para imigran untuk mencari kerja di sana. Konon, sejak Jerman bersatu, ekonomi Jerman tak begitu baik sehingga mereka agak enggan menerima para imigran pencari kerja. Mas Moko punya cerita yang rada lucu saat ia ditanyai petugas imigrasi soal “punya uang cukup apa tidak?” Mas Moko merogoh saku dan menunjukkan beberapa receh rupiah yang tersisa dalam sakunya.
***
Ikuti lanjutan tulisan ini dalam Buah Tangan dari Frankfurt (4): Divisi Internasional Frankfurter Buchmesse
Artikel Terkait
Kronik Pameran Buku Frankfurt (8): Frankfurt, Kota Museum yang Tersibuk
Kronik Pameran Buku Frankfurt (10): Kisah Gutenberg di Kota Mainz
Buah Tangan dari Frankfurt (1): Serba Besar, Sibuk, dan Terencana
Buah Tangan dari Frankfurt (2): Dari Benang Jahit sampai Jadwal Acara