Buah Tangan dari Frankfurt (3): Selamat Datang di Frankfurt

- Kamis, 13 Oktober 2022 | 13:53 WIB
Bandara Frankfurt (Foto: Airports Council International)
Bandara Frankfurt (Foto: Airports Council International)

Oleh Ready Susanto, editor dan penulis

Mewakili Penerbit Pustaka Utama Grafiti sebagai penerbit undangan, penulis bersama Eko Endarmoko, berkesempatan hadir di Pameran Buku Frankfurt  ke-48 pada 2-7 Oktober 1996. Berikut ini adalah catatan perjalanan penulis yang sudah diterbitkan dalam buku Buah Tangan dari Frankfurt: Sejumlah Kenangan dan Catatan tentang Dunia Perbukuan (Penerbit Matakamera, 2020).

Bandara Frankfurt masih kelam pada 30 Oktober 1996, matahari masih agak lama akan menyingsing, namun kesibukan sudah demikian terasa. Lampu-lampu di landasan tampak suram dalam udara dingin musim gugur saat pesa­wat Lufthansa LH 779 Jakarta-Frankfurt itu menje­jakkan roda di landasan. Setelah lelah duduk sekitar enam belasan jam dalam pesawat, hari baru kami—saya dan Mas Eko Endarmoko (selanjutnya disebut Mas Moko)—agaknya akan menarik untuk dijalani.

Baca Juga: Pameran Buku Frankfurt ke-74 Siap Digelar

Ketika kami keluar dari pintu pesawat sambil meregang otot-otot tubuh, hari baru itu tampaknya belum mulai di Ban­dara Frankfurt. Para penumpang transit tampak menunggu di beberapa tempat duduk, beberapa tertidur. Tetapi di loket imigrasi orang telah ramai mengantre. Saya dan Mas Moko segera masuk ke salah satu antrean, berbaur dengan orang-orang dari pelbagai bangsa Eropa, Asia, dan Afrika. Beberapa orang Indonesia yang sepesawat dengan kami juga tampak dalam antrean.

Petugas imigrasi yang tampak masih sangat muda dan tanpa senyum menerima paspor saya dan meneliti sekilas, lalu bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan standar: “untuk keperluan apa berada di Frankfurt”, “berapa lama”, “atas biaya siapa”, dan pertanyaan-pertanyaan sejenis itu. Semuanya segera beres ketika saya mengeluarkan surat undangan dari penyelenggara Frankfurt Book Fair (FBF) atau Frankfurter Buchmesse (FB).

Tampak sekali ada kekhawatiran akan ke­da­tangan para imigran untuk mencari kerja di sana. Konon, sejak Jerman bersatu, ekonomi Jerman tak begitu baik se­hingga mereka agak enggan menerima para imigran pencari kerja. Mas Moko punya cerita yang rada lucu saat ia ditanyai petugas imigrasi soal “punya uang cukup apa tidak?” Mas Moko merogoh saku dan menunjukkan beberapa receh rupi­ah yang tersisa dalam sakunya.

***

 

Ikuti lanjutan tulisan ini dalam Buah Tangan dari Frankfurt (4): Divisi Internasional Frankfurter Buchmesse

 

Editor: Budi Nugraha

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Membangun Empati Pada Keselamatan Lalulintas

Minggu, 26 Maret 2023 | 03:45 WIB

Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh (1)

Kamis, 23 Maret 2023 | 07:50 WIB

Duo Plate dalam Pusaran Korupsi BAKTI Kominfo

Rabu, 15 Maret 2023 | 00:32 WIB

Tantangan Besar Erick Thohir

Kamis, 9 Maret 2023 | 15:32 WIB

Mari Kita Ubah, Sebelum Kita Diubah Bangsa Lain!

Kamis, 9 Maret 2023 | 06:46 WIB

Pemilu 2024 Harus Tetap Digelar Tepat Waktu

Selasa, 7 Maret 2023 | 23:09 WIB

Erick Thohir dalam Bayang-bayang Mpu Gandring

Senin, 6 Maret 2023 | 23:43 WIB

Robohnya Pancasila Kami

Selasa, 28 Februari 2023 | 23:55 WIB
X