Oleh Ready Susanto, editor dan penulis
Mewakili Penerbit Pustaka Utama Grafiti sebagai penerbit undangan, penulis bersama Eko Endarmoko, berkesempatan hadir di Pameran Buku Frankfurt ke-48 pada 2-7 Oktober 1996. Berikut ini adalah catatan perjalanan penulis yang sudah diterbitkan dalam buku Buah Tangan dari Frankfurt: Sejumlah Kenangan dan Catatan tentang Dunia Perbukuan (Penerbit Matakamera, 2020).
Ada banyak orang Indonesia yang kami temui di Jerman. Selain para peserta dari penerbit Indonesia kami juga bertemu dengan para mahasiswa kita yang bersekolah di Jerman, para staf kedutaan, orang Indonesia yang sudah lama bermukim di Jerman, dan orang-orang lain yang bersangkut-paut dengan orang Indonesia.
Orang-orang Indonesia yang mewakili para penerbit Indonesia rata-rata datang dengan pesawat yang sama dengan pesawat yang kami tumpangi. Sejak masih di Bandara Soekarno-Hatta kami sudah bertemu dengan beberapa orang penerbit Indonesia, misalnya dengan wakil dari Penerbit CSIS yang juga membuka stan di FBF. Namun karena tiket kami dipesan langsung oleh Panita Penyelenggara FBF, tempat duduk kami di pesawat tidaklah berdekatan dengan mereka. Saat mengambil bagasi di Bandara Frankfurt, kami bertemu dengan Mas G. Aris Buntarman dari Penerbit Gramedia yang juga sedang mengambil bagasi.
Baca Juga: Pameran Buku Frankfurt ke-74 Resmi Dibuka
Sepanjang pameran kami tidak banyak berjumpa dengan para penerbit dari Indonesia itu karena masing-masing memiliki jadwal masing-masing. Kami memang sempat mengunjungi stan-stan CSIS, Gramedia, dan Kanisius dan mengobrol sedikit di sana. Stan Gramedia dan CSIS berdekatan, berada satu lantai di atas stan PUG, di Bangsal 9 tempat penerbit internasional (maksudnya, penerbit di luar AS dan Eropa) berada. Stan Kanisius justru berada di Bangsal 7, kelompok buku-buku keagamaan, bergabung dengan Stan Kanisius Internasional.
Kami bertemu juga dengan Ibu Soeprapto Hastrich, dari Penerbit Katalis yang banyak menerbitkan buku-buku dari bahasa Jerman, termasuk pelajaran bahasa Jerman untuk siswa sekolah Indonesia. Ibu Hastrich, yang juga aktif di Ikapi, adalah orang Jerman yang telah bermukim di Indonesia dan menikah dengan orang Indonesia. Kami juga bertemu dengan Suster Theresita S. dari Toko Buku Karsa Murni, Medan, yang katanya berangkat dengan rombongan Gramedia, dan seorang teman Mas Moko di UI yang berangkat mewakili importir buku Etnobook.
Para mahasiswa Indonesia dari berbagai kota di Jerman yang sempat datang ke arena FBF umumnya mampir ke stan kami. Beberapa sempat berbicara dengan kami, beberapa lagi kami ketahui kedatangannya dari pesan yang ditinggalkan di atas meja (tidak sepanjang hari kami berada di stan PUG). Salah seorang mahasiswa tingkat doktoral yang kami kenal adalah Mbak Pur (Dra. N.R. Purnomowulan, M.A.) dari Fakultas Sastra Jurusan Bahasa dan Sastra Jerman, Universitas Padjadjaran, Bandung. Saya dan Mbak Pur sempat berbincang agak lama dengan seorang editor dari Penerbit Baobab dalam kaitan dengan disertasinya mengenai buku anak.
Baca Juga: Peraih Nobel Sastra Abdulrazak Gurnah Hadir di Pameran Buku Frankfurt 2022
“Orang Indonesia” lain yang kami temui di Frankfurt adalah Karl Mertes dari sebuah stasiun televisi Jerman dan Rudiger Siebert dari Radio Jerman, Deutsche Welle. Kedua orang ini begitu fasih dan halus berbahasa Indonesianya. Mereka ini “sangat mengenal” PUG dalam kaitannya sebagai penerbit yang bersaudara dengan Majalah Tempo. Ada lagi Marcus Voss dari Penerbit Abera Verlag yang ketika datang ke stan kami tak bertemu dengan kami. Namun akhirnya kami bertemu juga dengan Mr. Voss—yang ternyata “murid” dari sastrawan Indonesia terkenal yang telah lama mengajar di Jerman, Dami N. Toda—di stannya yang ditata menarik.
Dengan Mr. Voss kami antara lain membicarakan mengenai buku Masykuri Abdillah (cendekiawan dari IAIN Jakarta) yang diterbitkan oleh Abera Verlag. Kami ketika itu tertarik untuk menerbitkan buku mengenai cendekiawan muslim itu di Indonesia. Namun dalam perkembangannya kemudian, dunia penerbitan Indonesia dilanda krisis pada 1998, dan PUG menghentikan produksi sehingga “nasib” buku itu tak menentu. Belakangan buku itu diterbitkan juga oleh penerbit lain selain PUG.
Seorang “Indonesia” lain adalah Holger W. yang fasih berbahasa Melayu lantaran pernah studi di Malaysia. la berberapa kali ngobrol di stan kami dalam kaitan kegemarannya akan buku-buku berbahasa Melayu dan tugasnya sebagai seorang pustakawan di Universitas Goethe, Frankfurt.
***
Artikel Terkait
Buah Tangan dari Frankfurt (13): Buku Gratis dan Buku Hilang
Buah Tangan dari Frankfurt (15): Disiplin Sopir Bus
Buah Tangan dari Frankfurt (16): Cokelat dan Boneka
Buah Tangan dari Frankfurt (17): ‘Pasar Kaget’ Frankfurt Book Fair