Buah Tangan dari Frankfurt (18): Orang Indonesia dan ‘Orang Indonesia’

- Rabu, 19 Oktober 2022 | 07:54 WIB
Sebelum berpameran, berpose di depan mobil yang konon mengantar Raja Thailand (Foto: Eko Endarmoko)
Sebelum berpameran, berpose di depan mobil yang konon mengantar Raja Thailand (Foto: Eko Endarmoko)

Oleh Ready Susanto, editor dan penulis

Mewakili Penerbit Pustaka Utama Grafiti sebagai penerbit undangan, penulis bersama Eko Endarmoko, berkesempatan hadir di Pameran Buku Frankfurt  ke-48 pada 2-7 Oktober 1996. Berikut ini adalah catatan perjalanan penulis yang sudah diterbitkan dalam buku Buah Tangan dari Frankfurt: Sejumlah Kenangan dan Catatan tentang Dunia Perbukuan (Penerbit Matakamera, 2020).

Ada banyak orang Indonesia yang kami temui di Jer­man. Selain para peserta dari penerbit Indonesia kami juga bertemu dengan para mahasiswa kita yang bersekolah di Jerman, para staf kedutaan, orang Indonesia yang sudah lama bermukim di Jerman, dan orang-orang lain yang bersangkut-paut dengan orang Indonesia.

Orang-orang Indonesia yang mewakili para penerbit In­donesia rata-rata datang dengan pesawat yang sama dengan pesawat yang kami tumpangi. Sejak masih di Bandara Soekarno-Hatta kami sudah bertemu dengan beberapa orang pe­ner­bit Indonesia, misalnya dengan wakil dari Penerbit CSIS yang juga membuka stan di FBF. Namun karena tiket kami dipesan langsung oleh Panita Penyelenggara FBF, tempat du­duk kami di pesawat tidaklah berdekatan dengan mereka. Saat mengambil bagasi di Bandara Frankfurt, kami bertemu dengan Mas G. Aris Buntarman dari Penerbit Gramedia yang juga sedang mengambil bagasi.

Baca Juga: Pameran Buku Frankfurt ke-74 Resmi Dibuka

Sepanjang pameran kami tidak banyak berjumpa de­ngan para penerbit dari Indonesia itu karena masing-masing memiliki jadwal masing-masing. Kami memang sempat mengunjungi stan-stan CSIS, Gramedia, dan Kanisius dan mengobrol sedikit di sana. Stan Gramedia dan CSIS berde­katan, berada satu lantai di atas stan PUG, di Bangsal 9 tempat penerbit internasional (maksudnya, penerbit di luar AS dan Eropa) berada. Stan Kanisius justru berada di Bangsal 7, ke­lompok buku-buku keagamaan, bergabung dengan Stan Kanisius Internasional.

Kami bertemu juga dengan Ibu Soeprapto Hastrich, dari Penerbit Katalis yang banyak menerbitkan buku-buku dari ba­hasa Jerman, termasuk pelajaran bahasa Jerman untuk siswa sekolah Indonesia. Ibu Hastrich, yang juga aktif di Ikapi, adalah orang Jerman yang telah bermukim di Indonesia dan menikah dengan orang Indonesia. Kami juga bertemu dengan Suster Theresita S. dari Toko Buku Karsa Murni, Me­dan, yang katanya berangkat dengan rombongan Gramedia, dan seorang teman Mas Moko di UI yang berangkat mewakili importir buku Etnobook.

Para mahasiswa Indonesia dari berbagai kota di Jerman yang sempat datang ke arena FBF umumnya mampir ke stan kami. Beberapa sempat berbicara dengan kami, beberapa lagi kami ketahui kedatangannya dari pesan yang ditinggalkan di atas meja (tidak sepanjang hari kami berada di stan PUG). Salah seorang mahasiswa tingkat doktoral yang kami kenal adalah Mbak Pur (Dra. N.R. Purnomowulan, M.A.) dari Fakultas Sastra Jurusan Bahasa dan Sastra Jerman, Univer­sitas Padjadjaran, Bandung. Saya dan Mbak Pur sempat ber­bincang agak lama dengan seorang editor dari Penerbit Bao­bab dalam kaitan dengan disertasinya mengenai buku anak.

Baca Juga: Peraih Nobel Sastra Abdulrazak Gurnah Hadir di Pameran Buku Frankfurt 2022

“Orang Indonesia” lain yang kami temui di Frankfurt adalah Karl Mertes dari sebuah stasiun televisi Jerman dan Rudiger Siebert dari Radio Jerman, Deutsche Welle. Kedua orang ini begitu fasih dan halus berbahasa Indonesianya. Me­reka ini “sangat mengenal” PUG dalam kaitannya sebagai pe­nerbit yang bersaudara dengan Majalah Tempo. Ada lagi Marcus Voss dari Penerbit Abera Verlag yang ketika datang ke stan kami tak bertemu dengan kami. Namun akhirnya kami bertemu juga dengan Mr. Voss—yang ternyata “murid” dari sastrawan Indonesia terkenal yang telah lama mengajar di Jerman, Dami N. Toda—di stannya yang ditata menarik.

Dengan Mr. Voss kami antara lain membicarakan mengenai buku Masykuri Abdillah (cendekiawan dari IAIN Jakarta) yang diterbitkan oleh Abera Verlag. Kami ketika itu tertarik untuk menerbitkan buku mengenai cendekiawan muslim itu di Indonesia. Namun dalam perkembangannya kemudian, dunia penerbitan Indonesia dilanda krisis pada 1998, dan PUG menghentikan produksi sehingga “nasib” buku itu tak menentu. Belakangan buku itu diterbitkan juga oleh penerbit lain selain PUG.

Seorang “Indonesia” lain adalah Holger W. yang fasih berbahasa Melayu lantaran pernah studi di Malaysia. la berberapa kali ngobrol di stan kami dalam kaitan kegemar­annya akan buku-buku berbahasa Melayu dan tugasnya se­bagai seorang pustakawan di Universitas Goethe, Frankfurt.

***

 

Halaman:

Editor: Budi Nugraha

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Duo Plate dalam Pusaran Korupsi BAKTI Kominfo

Rabu, 15 Maret 2023 | 00:32 WIB

Tantangan Besar Erick Thohir

Kamis, 9 Maret 2023 | 15:32 WIB

Mari Kita Ubah, Sebelum Kita Diubah Bangsa Lain!

Kamis, 9 Maret 2023 | 06:46 WIB

Pemilu 2024 Harus Tetap Digelar Tepat Waktu

Selasa, 7 Maret 2023 | 23:09 WIB

Erick Thohir dalam Bayang-bayang Mpu Gandring

Senin, 6 Maret 2023 | 23:43 WIB

Robohnya Pancasila Kami

Selasa, 28 Februari 2023 | 23:55 WIB

Pajak & Palak

Jumat, 24 Februari 2023 | 21:09 WIB

Menunggu Menteri Erick Thohir Mundur Demi PSSI

Kamis, 23 Februari 2023 | 19:47 WIB

Pendataan Memang Bukan Pendaftaran

Rabu, 22 Februari 2023 | 14:37 WIB

Kelayakan Hari Film Nasional.

Jumat, 17 Februari 2023 | 20:39 WIB
X