Oleh Sosiawan Leak.
JAKARTA, Jakarta.Suaramerdeka.com,- "Cara Rendra membaca puisi, begitu indah dan melodius. Dia seakan tengah bernyanyi. Dan gayanya betul-betul memukau. Menyihir para pemerhati." Demikian kesaksian Mas Nano (N. Riantiarno) kala tahun 1968 Mas Willy (WS Rendra) pulang dari Amerika membawa poetry reading dan drama mini kata sebagai oleh-olehnya.
Dalam testimoni yang dia tulis 37 tahun kemudian, sebagai kado ulang tahun ke-70 Rendra, pendiri dan sutradara sekaligus penulis drama Teater Koma tersebut juga menjustifikasi, bahwa aksi "Sang Burung Merak" dalam mengepakkan sayap puisi mampu mendominasi teknik pergelaran puisi di Indonesia hingga masa kiwari.
Sejak saat itu tradisi baca puisi bergaya deklamasi yang senantiasa mengalun, dramatis, dan patos pun secara drastis tenggelam bahkan hilang dari peredaran. Gaya itu dianggap kuno serta ketinggalan zaman, selain tak lagi relevan dengan pemberontakan kreatif puisi sebagai media penyadaran serta sarana yang menggigit bagi aspirasi sosial-politik di depan publik.
Dan, sepanjang beberapa dekade kemudian, pelopor Bengkel Teater Rendra senyatanya memang kerap mengalami pemberangusan atas ekspresi seni perannya, baik sebagai dramawan, terlebih sebagai penyair yang membacakan puisi di panggung-panggung apresiasi maupun kampus-kampus oposisi, tempat perlawanan kepada otoritarian orba disemai dan disuburkan.
Kini, sudah setengah abad lebih sejak seni baca puisi indah dan melodius temuan pentolan "kaum urakan" itu menjelma pakem standar di arena lomba, merupa kaidah normatif di forum-forum sastra, hingga bertransformasi jadi teori kunci bagi pembelajaran membaca puisi di ranah akademi.
Sampai sekarang belum ada lagi temuan, cara membaca puisi yang mampu menggantikan, minimal memperbaharui teknik poetry reading-nya Mas Willy, meski di kalangan penyair, aksi Sutardji Calzoum Bachri menenggak bir saat mempuahkan "O Amuk Kapak" sempat fenomenal dan menginspirasi. Pun tampilan Hamid Jabbar yang kerap trans merindu alam transedental melampaui batas-batas teatrikal, D. Zawawi Imron mengharu biru menyeru-nyeru "Ibu", menegak-negakkan "Alif" dengan lengkingan-lengkingan artikulatif.
Bahkan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) yang karakter dan tema puisinya belakangan cenderung naratif serta pamfletis, ditambah penampilannya yang kerap menghentak sekalian menggetarkan sembari sesekali melantunkan ayat-ayat ilahi, tak jua menjejakkan tapak pasti di ekosistem pergelaran puisi.
Padahal zaman telah melesat kelewat pesat. Peradaban sudah meloncat berkalil-kali dilipat-lipat kemajuan IT, terjun bebas ke jurang blunder pandemi hingga dihadang metaverse yang membangun beragam dimensi.
Artikel Terkait
Siam Semesta Buku Puisi Terkini Sosiawan Leak Siap Menjelang