Ketika Luhut Pandjaitan Menjadi Penganjur Korupsi

- Selasa, 20 Desember 2022 | 18:41 WIB
Ist
Ist

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

ANEH bin ajaib. Itulah Luhut Binsar Pandjaitan. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi itu mengkritik cara kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan korupsi. Ia permisif terhadap korupsi. Bahkan bisa dikatakan sebagai penganjur korupsi. Betapa tidak?

Saat berbicara di acara peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 di Jakarta, Selasa (20/12), Luhut menyebut KPK tak perlu sedikit-sedikit menangkap orang.

Menurut Luhut, operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap pejabat negara yang diduga korupsi justru tidak baik bagi negara. Kok bisa?

Ya bisa saja, namanya juga Luhut. Dia kerap memiliki logikanya sendiri. Padahal, OTT itu untuk membuat jera pelaku korupsi dan menjadikan terapi kejut bagi calon koruptor lainnya.

Semua mafhum, salah satu tujuan dari pemidanaan koruptor adalah untuk menciptakan “deterrent effect” atau efek jera di satu sisi, dan di sisi lain untuk menjadikan “shock therapy” atau terapi kejut bagi calon koruptor lainnya.

Luhut berdalih, Indonesia akan menerapkan “digital life” di mana semua transaksi keuangan akan dilakukan secara digital, sehingga KPK tak perlu sedikit-sedikit main tangkap orang.

Lagi-lagi, Luhut ini aneh. “Digital life” tersebut kan baru sebagian, belum keseluruhan. Untuk keseluruhan, baru rencana atau wacana. Kalau OTT KPK dihentikan sekarang, sementara “digital life” belum menyeluruh, bagaimana bisa?

Lebih aneh lagi bahkan memprihatinkan adalah pernyataan Luhut soal, “Hidup-hidup sedikit bolehlah, kita kalau mau bersih-bersih amat di surgalah."

Artinya, Luhut permisif terhadap korupsi. Bahkan boleh jadi merupakan penganjur korupsi. Sedikit-sedikit boleh. Hal ini mengingatkan kita pada Prabowo Subianto saat menjadi calon presiden untuk Pemilihan Presiden 2019 yang pernah mengatakan, “Korupsi sedikit-sedikit bolehlah.”

Dua tokoh di kabinet itu, saat ini Prabowo menjabat Menteri Pertahanan, ternyata tidak menganggap korupsi itu kejahatan luar biasa atau “extraordinary crime” yang bisa membuat negeri ini ambruk. Paradigma Luhut soal korupsi pun patut dipertanyakan. Mungkin itu sebabnya mengapa korupsi di Indonesia tak kunjung bisa dibersihkan. Sebab paradigma para pejabatnya seperti itu, tidak anti-korupsi, bahkan permisif terhadap korupsi.

Negeri Para Bedebah

Sebab itulah, hingga 10 tahun kemudian, novel "Negeri Para Bedebah" (2012) karya Tere Liye masih tetap relevan dengan kondisi kekinian bangsa ini di mana masih banyak manusia serakah. Betapa tidak?

Indonesia hingga saat ini masih disesaki oleh penguasa dan pengusaha tamak laiknya para bedebah. Bahkan tak sedikit penguasa merangkap pengusaha. Usahanya mendompleng kuasanya. Ada "conflict of interest" di sana. Betapa banyak pengusaha yang menjadi penguasa, baik di eksekutif maupun legislatif. Tapi negara tak berdaya.

Halaman:

Editor: Fauzan Jazadi

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Duo Plate dalam Pusaran Korupsi BAKTI Kominfo

Rabu, 15 Maret 2023 | 00:32 WIB

Tantangan Besar Erick Thohir

Kamis, 9 Maret 2023 | 15:32 WIB

Mari Kita Ubah, Sebelum Kita Diubah Bangsa Lain!

Kamis, 9 Maret 2023 | 06:46 WIB

Pemilu 2024 Harus Tetap Digelar Tepat Waktu

Selasa, 7 Maret 2023 | 23:09 WIB

Erick Thohir dalam Bayang-bayang Mpu Gandring

Senin, 6 Maret 2023 | 23:43 WIB

Robohnya Pancasila Kami

Selasa, 28 Februari 2023 | 23:55 WIB

Pajak & Palak

Jumat, 24 Februari 2023 | 21:09 WIB

Menunggu Menteri Erick Thohir Mundur Demi PSSI

Kamis, 23 Februari 2023 | 19:47 WIB

Pendataan Memang Bukan Pendaftaran

Rabu, 22 Februari 2023 | 14:37 WIB

Kelayakan Hari Film Nasional.

Jumat, 17 Februari 2023 | 20:39 WIB
X