Oleh: Karyudi Sutajah Putra
KISAH PSSI adalah kisah yang membentang antara Yunani dan Romawi. Sisifus dan Brutus.
Adalah Albert Camus (1913-1960), sastrawan eksistensialis asal Prancis, yang pada 1942 menulis, “Le Mythe de Sisyphe” (Mitos Sisifus).
Sisifus adalah tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia. Yakni mendorong batu ke puncak bukit. Namun ketika hendak mencapai puncak, batu itu menggelinding jatuh kembali.
Sisifus pun harus mengulangi pekerjaan mendoroing batu itu ke puncak, lalu jatuh lagi, lalu didorong lagi, begitu seterusnya. Mengapa Sisifus dikutuk? Karena ia mencuri rahasia para dewa.
Nasib Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pun laiknya Sisifus. PSSI melakukan pekerjaan yang sia-sia selamanya. Seorang ketua umum diangkat, lalu diturunkan di tengah jalan, lalu diangkat seorang ketua umum baru, lalu diturunkan di tengah jalan lagi, begitu seterusnya.
PSSI bahkan sempat mengalami dualisme kepemimpinan akibat intervensi pemerintah, sehingga pernah di-ban Federation of International Football Association (FIFA).
FIFA menjatuhkan sanksi kepada Indonesia pada 30 Mei 2015. Dalam surat yang dikirimkan, FIFA menilai PSSI melanggar Statuta FIFA Pasal 13 tentang Kewajiban Anggota, Pasal 14 ayat (1) tentang Suspensi, dan Pasal 17 tentang Kebebasan Anggota dan turunannya.
Karena mengalami kutukan laiknya Sisifus, prestasi PSSI pun jalan di tempat. Jangankan bicara di tingkat dunia, di Asia bahkan Asia Tenggara saja terseok-seok.
Mochamad Iriawan alias Iwan Bule menggantikan Edy Rahmayadi sebagai Ketua Umum PSSI melalui Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Jakarta, 2 November 2019. Sedianya ia akan menjabat hingga 2023 nanti. Bahkan Iwan Bule sudah mendeklarasikan diri untuk maju di periode kedua.
Adapun Edy Rahmayadi mundur dalam Kongres Tahunan PSSI di Bali, 20 Januari 2019. Edy mendapat desakan mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI setelah memutuskan untuk rangkap jabatan sebagai Gubernur Sumatera Utara. Desakan mundur semakin kencang setelah Timnas Indonesia gagal di Piala AFF 2018, serta kasus "match fixing" (pengaturan skor) yang terjadi di tubuh PSSI.
Kini, atas rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Tragedi Kanjuruhan, Iwan Bule pun "dipaksa" mundur di tengah jalan. Sebenarnya, sesuai rekomendasi TGPF, Iwan Bule seharusnya langsung mundur saja, tak perlu menunggu KLB yang oleh PSSI dan disepakati FIFA akan digelar pada 16 Februari 2023.
Sikap "buying time" Iwan Bule inilah yang disinyalir memberi celah lahirnya Brutus-Brutus di PSSI.
Sekali lagi, Iwan Bule sedianya meletakkan jabatan pada saat KLB yang sudah dijadwalkan digelar pada 16 Februari 2023. Namun tampaknya ada yang tidak sabar atau kurang percaya dengan komitmen Iwan Bule.
Keputusan Iwan Bule menggelar KLB PSSI ditengarai dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk membelot dari sang ketua umum.
Mereka gencar menggalang dukungan dari "voters" (para pemilik suara) PSSI untuk mengkhianati Iwan Bule.
Artikel Terkait
Revolusi PSSI Diperlukan untuk Penuhi Rasa Keadilan
Ketum PSSI Selanjutnya Diharap Bisa Bawa Indonesia Masuk Piala Dunia
Pertandingan Bentrok Bukti Buruknya Manajemen PSSI Kelola Liga