Indonesia dan 100 Tahun NU.

- Jumat, 6 Januari 2023 | 06:06 WIB
Gus Yaqut, Presiden Joko Widodo dan Gus Yahya. (Arsip Pribadi NU)
Gus Yaqut, Presiden Joko Widodo dan Gus Yahya. (Arsip Pribadi NU)

Oleh Benny Benke.

JAKARTA, Jakarta.Suaramerdeka.com, - Indonesia tidak mempunyai gambar besar tentang kehidupan kebangsaan yang ideal. Imajinasi tentang Indonesia yang lebih baik untuk semua warga bangsanya nyaris tidak ada.

yang ada saat ini adalah hanyalah Indonesia dengan persoalan perebutan kekuasaan belaka. yang persoalan dasariahnya terus berulang di setiap lima tahun periode perebutan kekuasaan.

Yaitu persoalan kelompok siapa mengalahkah circle siapa, untuk kemudian membagikan kekuasaannya kepada yang kalah, sembari membagi kue kemenangan pertarungan politik menurut versi pemenangnya. Rente politik terus terjadi, entah sampai kapan.

Hal ini terjadi karena hampir semua persoalan di Indonesia senantiasa dirampungkan lewat jalur politik.

Bukti nyatanya, perkelahian politik yang terjadi di setiap lima tahun pemilu Presiden dan Wapres, dapat dipastikan senantiasa membelah masyarakat.

Itu semua terjadi, sangat dipercaya, karena gambar besar tentang kebangsaan dan imajinasi tentang Indonesia yang lebih baik tidak dijabarkan dalam perikehidupan kebangsaan.

Meski sejatinya, Indonesia saat ini bahkan telah memiliki Nawacita. Sembilan prioritas pembangunan lima tahun yang diidentikkan dengan semangat visi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam kampanye Pilpres 2014. yang kemudian dilanjutkan di periode kedua masa kepresidenan Jokowi-Ma'ruf Amien.

Nawacita, atau sembilan agenda pokok untuk melanjutkan semangat perjuangan dan cita-cita Soekarno, atau Trisakti, isinya diantaranya berdaulat secara politik, kemandirian ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan, sampai revolusi karakter dengan segala budi pekertinya, secara konsep sangat indah sekali.

Meski sayangnya, implementasi di lapangan, apalagi soal budi pekerti, berpunggungan dengan dengan konsep Nawacita yang mulia. Karena tidak ada bridging yang jelas bagaimana seharusnya mengimplementasikannya dalam peri kehidupan sehari-hari agar Nawacita tegak lurus dengan sepatutnya.

Akhirnya, bahkan di level penyelenggara negara pembacaan atas Nawacita berjalan atas interpretasi masing-masing. Suka-suka. Atau penerjemahan dan pelaksanaan di level setelah RI 1, tidak berjalan dengan baik. Morat-marit. Semua serba auto pilot dan tak seragam.

Tidak heran ada pembantu Presiden yang kemudian dicokok KPK. Bahkan dari partai pendukungnya sendiri. yang notabene seharusnya menjadi pendukung dan pelaksana utama Nawacita pertama yang sebegitu eloknya. Alangkah indahnya.

Sebagaimana kita ketahui bersama mantan menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dan eks Menteri Sosial Idrus Marham, adalah   anggota Kabinet Kerja periode 2014-2019. Lalu mantan menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan eks Menteri Sosial Juliari Batubara adalah anggota Kabinet Indonesia Maju periode 2019 - 2024 yang dicokok KPK.

Nahrawi dari PKB, Idrus Marham dari Golkar, Edhy Prabowo dari Gerinda dan Juliari Barubara dari PDIP. Keempat partai di atas adalah pengusung utama Jokowi, yang notabene seharusnya paling bertanggung jawab atas suksesnya Nawacita.

Halaman:

Editor: Budi Nugraha

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Membangun Empati Pada Keselamatan Lalulintas

Minggu, 26 Maret 2023 | 03:45 WIB

Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh (1)

Kamis, 23 Maret 2023 | 07:50 WIB

Duo Plate dalam Pusaran Korupsi BAKTI Kominfo

Rabu, 15 Maret 2023 | 00:32 WIB

Tantangan Besar Erick Thohir

Kamis, 9 Maret 2023 | 15:32 WIB

Mari Kita Ubah, Sebelum Kita Diubah Bangsa Lain!

Kamis, 9 Maret 2023 | 06:46 WIB

Pemilu 2024 Harus Tetap Digelar Tepat Waktu

Selasa, 7 Maret 2023 | 23:09 WIB

Erick Thohir dalam Bayang-bayang Mpu Gandring

Senin, 6 Maret 2023 | 23:43 WIB

Robohnya Pancasila Kami

Selasa, 28 Februari 2023 | 23:55 WIB
X