Eksekusi Mati Sama Beratnya dengan Restorative Justice

- Kamis, 5 Januari 2023 | 06:32 WIB
nurokhman
nurokhman
 


Salah satu tugas jaksa adalah mengeksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, termasuk eksekusi hukuman mati. Namun, pada prakteknya eksekusi mati tak lepas dari kebijakan yang menyisakan problem  ketika dilakukan menggunakan pendekatan rasional, pendekatan fungsional, pendekatan ekonomi dan pendekatan nilai. Meskipun, eksekusi mati adalah bagian untuk memberi kepastian hukum.

Eksekusi mati merupakan tugas berat Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) karena seluruh terpidana mati saat ini merupakan pelaku tindak pidana umum, di antaranya perkara pembunuhan, terorisme dan narkotika. Sehingga, JAM Pidum selaku eksekutor putusan pidana umum. Meskipun, sepanjang tahun 2022 JAM Pidum lebih banyak memberikan pengampunan kepada pelaku tindak pidana mealui program  restorative justice yang sangat masif yaitu sebanyak 1.454 perkara.

Hukuman mati dijatuhkan untuk memberikan efek jera agar orang takut berbuat kejahatan. Namun, pada pelaksanaanya eksekusi mati menimbulkan kontroversi. Kontroversi itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di sejumlah negara eropa yang tidak lagi memberlakukan hukuman mati.

Mereka yang menentang hukuman mati berargumen pelaksanaan hukuman mati merupakan tindakan yang bertentangan dan pelanggaran terhadap deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa hak hidup adalah hak konstitusional yang bersifat non derogable right (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Meskipun, ternyata, Pasal 36 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2001 tentang Pengadilan HAM juga memberlakukan ancaman pidana mati terkait dengan kejahatan genosida.

Pelaksanaan hukuman mati juga tidak sejalan dengan subtansi Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yakni lembaga pemasyarakatan menjalankan fungsi pembinaan perilaku para pelaku tindak pidana menjadi lebih baik bukan membinasakan. Hukuman mati selama ini dinilai tidak menimbulkan efek jera. Bentuk hukuman mati hanya akan membuat lingkaran balas dendam. Sebab, ketika masyarakat mengutuk perilaku kejahatan, lalu kemudian dihukum mati, maka pranata hukum sama saja melakukan tindak kejahatan.    

Selain itu, menilik vonis pengadilan dalam perkara yang sama bisa membuat risau, contohnya dalam perkara tindak pidana narkotika, Freddy Budiman telah dieksekusi mati pada 29 Juli 2016, sementara bosnya Freddy Budiman yaitu Pony Tjandra alias Akiong hanya dijatuhi hukuman pidana badan bukan pidana mati. Sehingga, JAM Pidum perlu mempertimbangkan restorative justice bagi terpidana mati dengan cukup pidana badan. Toh, ekeskusi mati dan restorative justice sama-sama kebijakan jaksa sebagai pengendali perkara pidana. (Nurokhman)

Editor: Arif Muhammad Iqbal

Terkini

Duo Plate dalam Pusaran Korupsi BAKTI Kominfo

Rabu, 15 Maret 2023 | 00:32 WIB

Tantangan Besar Erick Thohir

Kamis, 9 Maret 2023 | 15:32 WIB

Mari Kita Ubah, Sebelum Kita Diubah Bangsa Lain!

Kamis, 9 Maret 2023 | 06:46 WIB

Pemilu 2024 Harus Tetap Digelar Tepat Waktu

Selasa, 7 Maret 2023 | 23:09 WIB

Erick Thohir dalam Bayang-bayang Mpu Gandring

Senin, 6 Maret 2023 | 23:43 WIB

Robohnya Pancasila Kami

Selasa, 28 Februari 2023 | 23:55 WIB

Pajak & Palak

Jumat, 24 Februari 2023 | 21:09 WIB

Menunggu Menteri Erick Thohir Mundur Demi PSSI

Kamis, 23 Februari 2023 | 19:47 WIB

Pendataan Memang Bukan Pendaftaran

Rabu, 22 Februari 2023 | 14:37 WIB

Kelayakan Hari Film Nasional.

Jumat, 17 Februari 2023 | 20:39 WIB
X