Kades Maju Tak Gentar Demi 9 Tahun Jabatan

- Selasa, 17 Januari 2023 | 02:30 WIB
Karyudi SP
Karyudi SP

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

ENTAH apa yang berkecamuk dalam benak para kepala desa. Selasa, 17 Januari 2023 ini mereka dari berbagai wilayah di Indonesia berbondong-bondong ke Jakarta untuk menggelar aksi unjuk rasa di Gedung DPR RI. Termasuk dari Pemalang, Jawa Tengah, tanah tumpah darah penulis, yang dikabarkan menumpang 3 bus.

Tuntutannya: revisi Pasal 39 Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2014 tentang Desa agar periodesasi jabatan kepala desa diperpanjang dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Dalihnya: program tidak tuntas jika hanya 6 tahun.

Mereka pun maju tak gentar demi 9 tahun masa jabatan kepala desa (Kades). Mereka pergi ke Jakarta dengan meninggalkan tugas pelayanan masyarakat di desa masing-masing.

Entah logika semacam apa, atau kajian ilmiah semacam apa yang mendasari tuntutan mereka. Masa jabatan Kades 6 tahun itu sudah melalui kajian ilmiah. Kalau 9 tahun, apa sudah melalui kajian ilmiah?

Sesungguhnya periodesasi jabatan Kades lebih longgar daripada presiden. Jika presiden hanya 5 tahun dan maksimal 2 periode, maka Kades 6 tahun dan maksimal 3 periode. Kurang apa?

Kalau dalihnya 6 tahun program tidak tuntas, 9 tahun pun program tidak akan pernah tuntas. Sebab program bisa dibuat atau dibuat-buat.

Mungkin dalih mereka sesungguhnya adalah dana desa yang kurang lebih Rp1 miliar per desa per tahun. Mereka silau melihat gepokan uang. Mereka riang mendengar gemerincing uang yang nyaring terdengar. Betapa banyak Kades dan mantan Kades yang dibui gara-gara korupsi dana desa.

Mungkin pula dalih mereka sesungguhnya adalah nikmat dan empuknya jabatan dan kursi kepala desa, sehingga ketika sudah duduk lupa berdiri. Mereka telah menjadi raja-raja kecil di desa. Padahal Lord Acton (1834-1902) bilang, "The power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutly."

Logika Kekuasaan

Gerakan reformasi membatasi masa jabatan presiden maksimal 2 periode atau 10 tahun karena bangsa ini sudah trauma dengan kekuasaan rezim Orde Baru yang terlalu lama. Kekuasaan yang terlalu lama tentu saja berkarat. Kini, kekuasaan yang terlalu lama itu sedang coba diperjuangkan oleh para Kades. Mereka seolah rindu dengan model kekusaan Orde Baru. Mereka suka dengan feodalisme.

Tapi baiklah, kekuasaan memang sering kali memiliki logikanya sendiri. Bahkan tak jarang berlawanan dengan logika akal sehat. Betapa tidak?

Kalau dinalar dengan akal sehat, buat apa mereka berjibaku mencalonkan diri sebagai kepala desa? Demi memenuhi ambisinya supaya terpilih, rata-rata mereka melakukan "money politics". Modal pun dikuras, sampai-sampai harus jual aset. Di wilayah Jawa, rerata seorang Kades terpilih menghabiskan dana hingga Rp1 miliar. Dengan gaji hanya sekitar Rp2,5 juta per bulan, logikanya, selama 6 tahun, apakah mereka bisa balik modal?

Kalau normatif, tidak korupsi atau pungli, tentu modal tak akan kembali. Lalu sebagian dari mereka menghalalkan segala cara. Yang penting modal kembali. Kalau modal sudah kembali, mereka berpikir lagi: bagaimana mencari modal baru untuk pilkades berikutnya. Begitu seterusnya.

Halaman:

Editor: Arif Muhammad Iqbal

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Membangun Empati Pada Keselamatan Lalulintas

Minggu, 26 Maret 2023 | 03:45 WIB

Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh (1)

Kamis, 23 Maret 2023 | 07:50 WIB

Duo Plate dalam Pusaran Korupsi BAKTI Kominfo

Rabu, 15 Maret 2023 | 00:32 WIB

Tantangan Besar Erick Thohir

Kamis, 9 Maret 2023 | 15:32 WIB

Mari Kita Ubah, Sebelum Kita Diubah Bangsa Lain!

Kamis, 9 Maret 2023 | 06:46 WIB

Pemilu 2024 Harus Tetap Digelar Tepat Waktu

Selasa, 7 Maret 2023 | 23:09 WIB

Erick Thohir dalam Bayang-bayang Mpu Gandring

Senin, 6 Maret 2023 | 23:43 WIB

Robohnya Pancasila Kami

Selasa, 28 Februari 2023 | 23:55 WIB
X