Jabatan Itu Memabukkan, Pak Kades!

- Rabu, 18 Januari 2023 | 23:25 WIB
Karyudi SP
Karyudi SP

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

HARTA, takhta wanita. Harta mudah mendatangkan takhta. Takhta pun mudah mendatangkan harta. Harta dan/atau takhta mudah mendatangkan wanita.

Itulah obsesi nyaris semua makhluk bernama manusia (dalam hal ini laki-laki). Kaya-raya, punya jabatan empuk, punya istri cantik, syukur-syukur lebih dari seorang.

Untuk itulah kebanyakan manusia berjuang atau berusaha mati-matian demi mendapatkan harta dan takhta.

Di sisi lain, setiap manusia punya kehendak untuk berkuasa, seperti disebut Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) sebagai “the will to power”. Dalam diri setiap manusia ada insting atau naluri atau kehendak untuk berkuasa. Tak terkecuali seseorang yang kemudian terpilih menjadi kepala desa.

Bila dahulu kala perebutan takhta dilakukan melalui peperangan atau pertarungan, di zaman modern ini dilakukan melalui pemilihan umum/pemilihan presiden/pemilihan kepala daerah/pemilihan kepala desa. Ini dalam konteks Indonesia. Semua diatur dengan regulasi atau hukum.

Dengan “the will to power”-nya tadi, seseorang mencalonkan diri menjadi kades. Tak peduli gaji seorang kades itu berapa. Yang penting bisa berkuasa. Saat ini gaji kades sekitar Rp2,5 juta per bulan. Bandingkan dengan biaya pilkades, baik untuk “political cost” (ongkos politik) seperti biaya pendaftaran, biaya kampanye dan pemasangan alat peraga, maupun untuk “money politics” (politik uang) atau “serangan fajar” yang nominalnya bisa tak terhingga.

Rerata seorang kades terpilih di Pulau Jawa merogoh kocek hingga Rp1 miliar. Jadi, jika kades tidak korupsi atau melakukan pungutan liar (pungli), dalam masa jabatan 6 tahun, nyaris dapat dipastikan tidak akan balik modal.

Sebab itulah, Selasa (17/1/2023) kemarin para kepala desa dari berbagai daerah di Indonesia berunjuk rasa di DPR RI, Senayan, Jakarta. Tuntutan utama mereka: perpanjang masa jabatan kades dari 6 menjadi 9 tahun.

Dalih mereka pun jenaka. Pertama, durasi 6 tahun tidak cukup untuk menuntaskan program-program kades. Kedua, durasi 6 tahun tidak cukup untuk menyelesaikan “konflik” dengan calon kepala desa yang dikalahkan.

Di sinilah akal sehat manusia waras seakan tertampar. Program bisa dibuat dan dibuat-buat, sehingga jangankan 6 tahun, 9 tahun pun bisa tidak tuntas.

Enam tahun tidak cukup untuk rekonsiliasi? Kalau memang tidak bisa rekonsiliasi, serahkan ke mekanisme hukum, karena negara ini negara hukum. Simpel. Sederhana.

Mungkin yang seseungguhnya menggelegak dalam benak mereka adalah syahwat kekuasaan, kehendak berkuasa. Sebab takhta mudah mendatangkan harta. Mereka tergiur dengan gemerincing dana desa yang mencapai sekitar Rp1 miliar per desa per tahun. Terbukti, sudah banyak kades dan mantan kades dibui karena terlibat korupsi.

Terbukti pula, banyak kades yang terlibat affair dengan wanita lain. Kekuasaan itu memabukkan, Pak kades!

Halaman:

Editor: Fauzan Jazadi

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Membangun Empati Pada Keselamatan Lalulintas

Minggu, 26 Maret 2023 | 03:45 WIB

Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh (1)

Kamis, 23 Maret 2023 | 07:50 WIB

Duo Plate dalam Pusaran Korupsi BAKTI Kominfo

Rabu, 15 Maret 2023 | 00:32 WIB

Tantangan Besar Erick Thohir

Kamis, 9 Maret 2023 | 15:32 WIB

Mari Kita Ubah, Sebelum Kita Diubah Bangsa Lain!

Kamis, 9 Maret 2023 | 06:46 WIB

Pemilu 2024 Harus Tetap Digelar Tepat Waktu

Selasa, 7 Maret 2023 | 23:09 WIB

Erick Thohir dalam Bayang-bayang Mpu Gandring

Senin, 6 Maret 2023 | 23:43 WIB

Robohnya Pancasila Kami

Selasa, 28 Februari 2023 | 23:55 WIB
X