Oleh: Karyudi Sutajah Putra
POLITIK adalah pengkhianatan. Atau setidaknya identik dengan pengkhianatan. Betapa tidak?
Marcus Junius Brutus (117-42 SM), yang sudah dianggap Julius Caesar (100-44 SM) laiknya anak sendiri ternyata tega membunuh Kaisar Romawi itu pada 15 Maret 44 SM.
Itu di zaman kuno. Setelahnya, pengkhianatan demi pengkianatan di dunia politik terus terjadi. Tak terkecuali di Nusantara. Ken Arok yang sudah diangkat Tunggul Ametung sebagai senapati, misalnya, tega membunuh Akuwu Tumapel itu dan menguasai takhtanya. Bahkan merebut permaisurinya, Ken Dedes. Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari pada 1222 di Malang, Jawa Timur.
Di era Indonesia modern, pengkhianatan demi pengkhianatan juga terjadi di dunia politik. Soeharto, misalnya. Berbekal Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super Semar), ia menyingkirkan Bung Karno yang justru sebagai pemberi Super Semar itu.
Penguasa Orde Baru itu pun akhirnya dikhianati orang-orang terdekatnya sendiri dengan ramai-ramai mengundurkan diri dari kabinet menjelang lengser 21 Mei 1998.
Ada 14 menteri yang mengundurkan diri dari Kabinet Pembangunan VII, di antaranya Akbar Tandjung, Ginandjar Kartasasmita, Kuntoro Mangkusubroto, dan AM Hendropriyono. Politikus-politikus itu justru kemudian eksis di dunia politik di era reformasi, bahkan ada yang hingga kini.
Akbar Tandjung pernah menjadi Ketua DPR RI. Ginandjar Kartasasmita pernah menjadi Ketua DPD RI. AM Hendropriyono pernah menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), bahkan kini menjadi salah satu orang terdekat Presiden Joko Widodo.
Yang paling mencolok adalah Harmoko. Menteri Penerangan beberapa periode di era Orde Baru itulah yang meminta Pak Harto kembali maju sebagai calon presiden pada Sidang Umum MPR RI 1997. Saat itu Harmoko menjabat Ketua Umum Golkar sekaligus Ketua DPR/MPR. Dalihnya, setelah pihaknya "anjajah desa milangkori" (berkeliling desa dari pintu ke pintu), mayoritas rakyat menghendaki Pak Harto kembali memimpin Indonesia. Namun tak berapa lama setelah Pak Harto terpilih untuk ke tujuh kalinya, justru Harmoko mendesak Pak Harto mundur dengan dalih kehendak rakyat.
Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri pun merasa diikhianati Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga hingga kini putri Bung Karno itu pun belum benar-benar normal interaksinya dengan Presiden ke-6 RI tersebut.
Kini, pengkhianatan di dunia politik disinyalir kembali terjadi. Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang sudah tiga kali berlaga dalam kontestasi pemilihan presiden, mengaku sering dikhianati dan dibohongi. Oleh siapa?
Menteri Pertahanan yang diidentifikasi sebagai “the little Soekarno” atau Soekarno kecil itu tak menyebut nama. Tapi ketika kemudian terungkap bahwa saat menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 ia meneken perjanjian dengan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, calon gubernur dan wakil gubernur saat itu, barulah ungkapan bernada sindiran itu dimaknai ditujukan kepada Anies Baswedan.
Mengapa bukan ke Sandiaga Uno? Semula juga disinyalir ke sana, saat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu "leda-lede", “gendulak-gendulik” alias oleng ke sana kemari hendak bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Belakangan ketika Sandi “kembali ke jalan yang benar” dengan mengikrarkan kembali kesetiaannya kepada Prabowo, sinyalemen itu pun sirna sudah.
Apalagi ketika kemudian terungkap Sandi ikut mengelaborasi isu yang diembuskan Erwin Aksa, keponakan Jusuf Kalla, bahwa Anies memiliki utang Rp50 miliar kepada Sandi. Setelah salat istikharah, menimbang dan konsultasi dengan keluarganya, Sandi akhirnya mengaku mengikhlaskan piutangnya ke Anies sejumlah Rp50 miliar itu.
Artikel Terkait
Hasil Survei LSN: Jatim Jadi Arena Pertempuran Paling Sengit Prabowo-Ganjar, Anies Hanya Berjaya di Jakarta
Prabowo, Ganjar & Anies Sama-sama Kokoh di Kandang, Penentu Ada di Performa Tandang, Biar Nendang
Gus Najmi Dicopot dari Jabatan Sekwil PPP DKI Jakarta, Diduga karena Dekat dengan Anies
Sudirman Said Sebut Sikap Resmi Demokrat Dukung Anies Perkuat Harapan Rakyat