JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com - Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang merevisi Undang-Undang 20 Tahun 2003 Sisdiknas, dinilai semakin membelenggu hak- hak guru. Bahkan, polemik RUU Sisdiknas terus meresahkan masyarakat, terutama jutaan guru.
"Justru di era Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riser dan Teknologi Nadiem Makarim, hak-hak guru semakin terbelenggu," kata Ketua Bidang Kajian dan Riset Kebijakan Pendidikan NU Circle Ki Bambang Parma di Jakarta, Minggu (11/9).
Menurutnya, jika RUU Sisdiknas yang dibuat Nadiem dibandingkan dengan dengan UU Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005 sangat jelas perbedaannya. Dimana di era sekarang ini guru tidak diberi kebebasan berserikat dan terbelenggu hak-hak berekspresinya.
"Khususnya dalam menyampaikan pikiran, gagasan dan pendapatnya. Pasal 105 RUU Sisdiknas menghapus kata kebebasan dalam berserikat, yang tercetak tebal dalam UU Guru dan Dosen," ujarnya.
Penghapusan ini dinilai sebagai tanda awal pembelengguan kebebasan guru. Hal itu diperkuat dengan penghapusan pasal 14 huruf i pada UU Guru dan Dosen di RUU Sisdiknas.
"Di RUU Sisdiknas yang dibuat rezim ini, menghapus hak guru dalam ikut serta dalam pengambilan kebijakan pendidikan nasional. Sedangkan di UU No 14/2005 itu, guru diberi hak secara regulatif untuk ikut serta terlibat dalam pengambilan kebijakan pendidikan nasional," tandasnya.
Artinya, kata dia, di era Nadiem, kebebasan berpendapat justru dibungkam dan terbelenggu. Kebebasan berserikat dibatasi.
"UU Guru dan Dosen justru lebih tegas karena memberi kebebasan secara regulatif kepada guru. Yakni untuk ikut serta dalam proses pengambilan kebijakan pendidikan nasional," tegasnya.
Diubah
Selain itu, RUU Sisdiknas memberi sinyal tegas tentang kembalinya era otoritarianinisme. Tak hanya kebebasannya yang dibelenggu, di era Nadiem, status dan posisi guru sebagai pendidik profesional juga diubah menjadi buruh.
"RUU Sisdiknas memberi penekanan dan penegasan bahwa kesejahteraan dan pekerjaan profesional guru, dimasukkan ke dalam nomenklatur pengupahan. Pengupahan itu hanya ada di dalam peraturan perburuhan," jelasnya.
Akibatnya seluruh bentuk peraturan tentang buruh akan diberlakukan kepada guru. Dikatakan, cara Nadiem memposisikan guru seperti kuli.
"Tugas pendidikan manusia disamakan dengan tugas membuat batu bata dan sendal jepit. Jika RUU Sisdiknas ini tetap dipaksa harus disahkan, maka sejarah akan mencatat Nadiem sebagai kabar buruk bagi dunia keguruan dan pendidikan di Indonesia," imbuhnya.
Sebagai pendidik yang menyiapkan masa depan generasi Indonesia, lanjutnya, seharusnya guru diposisikan secara proporsional dan profesional. Namun Nadiem menganulir itu semua.
"Dan menjerumuskan posisi guru ke dalam nomenklatur perburuhan. Ini sama sekali keliru dan sangat tidak masuk akal," tukasnya.