Waspadai Perang Tarif di Telko

- Rabu, 23 Februari 2022 | 15:25 WIB

Baca Juga: Kepala NATO Jens Stoltenberg: Kami Melihat Formasi Tempur Rusia Siap Menyerang!

Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengakui saat ini tarif layanan di industri telekomunikasi selular persaingan harga cukup berat. Operator berharap pemerintah terlibat dalam pengaturan harga agar industri menjadi lebih sehat, dengan persaingan yang sehat pula. 

Menurut ATSI, harga yang murah secara jangka pendek nampak baik untuk masyarakat, tetapi untuk jangka panjang tidak baik bagi industri. Tarif murah mengganggu arus keuangan operator yang juga berisiko turunnya kualitas layanan yang diterima masyarakat. 

Untuk meningkatkan kualitas layanan, operator butuh dukungan permodalan yang kuat. Pendapatan yang rendah akan berdampak pada turunnya kualitas layanan operator seluler, yang bahkan membuat operator tidak dapat bertahan. 

Baca Juga: Dubes RI Ungkap Kondisi WNI di Luhansk: Masih Kondusif

Catatan menyebutkan, nilai ekonomi digital Indonesia pada 2020 mencapai 44 miliar dollar AS, sekitar Rp 633 triliun, naik 11%  dibanding 2019. Sebagai gambaran aktual di kalangan operator, dari pendapatan Telkomsel pada triwulan 3 tahun 2021 sebesar Rp 65,14 triliun, sumbangan dari bisnis digitalnya mencapai 77,5% atau senilai Rp 50,5 triliun.

Upaya sia-sia

Di sisi lain, pemasukan (bisnis seluler) Indosat Ooredoo pada periode sama mencapai Rp 18,789 triliun, kontribusi digitalnya sebesar 77,4% (Rp 14,5 triliun), naik dari 73,6% pada 2020. Indosat 9 bulan pertama 29021 menangguk laba Rp 5,88 triliun, setelah menjual ribuan towernya dengan harga Rp 6,1 triliun, tetapi di 2020 operator itu mencatat rugi Rp 418 miliar. 

Pendapatan XL Axiata Rp 17,3 triliun, dari digital mencapai 95% (Rp 16,4 triliun), mendapat laba Rp 1 triliun, turun dari laba periode sama tahun 2020 yang Rp 2 triliun. Jumlah pelanggan Indosat Ooredoo mencapai 60 juta lebih, XL Axiata sejumlah 58 juta, dan Telkomsel 172 juta. 

Baca Juga: Dubes RI Ungkap Kondisi WNI di Luhansk: Masih Kondusif

Data Kementerian Koperasi dan UMKM dan data Kadin menyebutkan, kontribusi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) ke produk domestik bruto (PDB) mencapai 37,35% pada tahun 2019, menjad 61% pada 2021 dan menyerap 97% tenaga kerja. Semuanya butuh beroperasi dan tumbuh melesat dengan bantuan prasarana digital.

Industri telekomunikasi di Indonesia mengkhawatirkan, karena akan segera memasuki masa kritis ketika operator tetap berkutat pada bagaimana merebut sebanyak mungkin pelanggan baru, dengan promo-promo murah. Saat ini agak mustahil mendapat pelanggan baru karena jumlah pelanggan sudah melebihi angka 360 juta, untuk penduduk 272 juta termasuk balita.

Pertempuran merebut pelanggan secara teoritis adalah upaya yang sia-sia. Situasi sudah  sudah memasuki zona zero sum game, ketika jumlah pelanggan satu operator bertambah berarti ada operator lain yang kehilangan pelanggan. 

Baca Juga: KENAIKAN BAHAN PANGAN UTAMA HIPPI Desak Pengusaha Lokal Tingkatkan Nasionalisme

Merger juga berpotensi mengurangi jumlah pelanggan. Jika satu pelanggan memiliki kartu kedua operator yang merger, mereka cenderung mematikan salah satu kartu SIM-nya.

Halaman:

Editor: Budi Nugraha

Artikel Terkait

Terkini

Migrasi ke Era Digital dengan STB

Kamis, 26 Januari 2023 | 21:03 WIB

Aset Kripto Milik LINE, LINK, Bergabung dengan Huobi

Sabtu, 29 Oktober 2022 | 10:56 WIB

#IniWaktunyaKita, Semangat Tri untuk Generasi Z

Sabtu, 3 September 2022 | 18:51 WIB
X